PORTAL BERITA: HIPEREALITAS MEDIA DAN JUNKNEWS

“Seharusnya pengajaran dan definisi berita yang sekarang masih dipakai sekolah-sekolah jurnalistik menjadi bagian dari sejarah saja.”

PERNYATAAN yang dikemukakan Pemimpin Redaksi Detikcom Budiono Darsono dalam sebuah diskusi yang digelar Blora Center, baru-baru ini, cukup provokatif.

Tapi memang tidak bisa dipungkiri, kebangkitan teknologi komunikasi dan informasi yang melahirkan internet menjadikan informasi tidak berjarak lagi alias realtime.

Portal-portal berita dunia dan domestik juga berlomba-lomba menyajikan informasi secepat mungkin. Kecepatan atau updating menjadi harga tawar bagi sebuah media untuk dijual kepada publik dan pemasang iklan.

Postur Berita

Definisi berita dan struktur berita konvensional pun kini sudah tidak cocok lagi dengan perkembangan media internet yang menuhankan kecepatan.

Portal www.kompas.com, edisi 23 Juli 2008 pukul 11.18 WIB., misalnya pernah menulis berita hanya satu alinea yang sangat mustahil bagi berita utama di media konvensional.

Agustinus Juga Korban Ryan?
JOMBANG, RABU - Keluarga Agustinus F Setiawan (28) melaporkan hilangnya warga Jalan Dokter Soetomo, Jombang, Jawa Timur itu, setelah mengantar Ryan ke Stasiun Jombang, Jawa Timur. Ryan (30) yang nama aslinya adalah Very Idam Henyansyah mengakui hal itu, tetapi ia lupa kapan tepatnya Agustinus mengantarnya ke Stasiun Jombang.[*]

Berita dengan postur yang sama juga pernah dipublikasikan situs berita www.antara.co.id edisi Rabu, 23 Juli 2008 pukul 16.56 WIB

Batavia Air Tergelincir di Bandara Depati Amir
Pangkalpinang (ANTARA News) - Pesawat Batavia Air Boing 737 seri 300 PK-YTF rute penerbangan Jakarta -Pangkalpinang tergelincir di Bandara Depati Amir Pangkalpinang, Rabu, pukul 15.00 WIB.(*)

Atau seperti yang ditulis situs www.tribunjabar.co.id edisi Minggu, 27 Juli 2008 pukul 15.05 WIB. Postur berita konvensional takluk demi urusan updating. Berita menjadi kering dan hanya berupa urutan kronologis yang menjemukan.

45 Menit babak kedua Persipura v/s Persib

Menit 77 Sundulan Jack Komboy membobol gawang Tema Mursadat
Menit 77 kedudukan berubah menjadi 1-0 untuk Persipura
Menit 80 Tendangan Ricardo membentur mistar gawang Tema Mursadat
Menit 81 Yustinus Pae terjebak off side
Menit 82 Heru Nerli masuk menggantikan Boas Salosa
Menit 83 Solo run Heru Nerli melewati tiga pemain Persib tapi akhirnya berhasil dimentahkan Maman
Menit 83 Ortizan Salosa terkena kartu kuning melanggar Gilang Angga
Menit 84 Heru Nerli diberi kartu kuning, menghentikan bola dengan tangannya
Menit 88 Umpan Maman gagal disambut Zaenal Arief
Menit 89 Zaenal Arief terjebak off side, ofisial Persib lancarkan protes
Menit 89 Pelatih Jaya Hartono protes kepada hakim garis
Menit 90 Tendangan Gilang Angga dimentahkan kiper Jendry Pitoy
Menit 90 Tendangan Zaenal Arie dari luar kotak penalti dihalau Jendry Pitoy
Menit 91 Wasit Effendi membunyikan peluit tanda pertandingan berakhir
Menit 91 Pertandingan berakhir kedudukan tetap 1-0 untuk Persipura

Bila menggunakan definisi berita konvensional, postur tiga berita seperti di atas sama sekali tidak memenuhi syarat 5W+1H dan piramida terbalik. Terutama unsur “How” dan “Why” dalam postur ini selalu tak pernah mendapat jawaban. Padahal “How” dan “Why” ini adalah substansi sebuah berita.

“Piramida terbalik itu hanya berlaku saat dunia penerbitan pers masih menggunakan timah, pelat atau saat naskah berita masih dipotong pisau kater,” kata Budiono.

“Berita yang kurang penting dengan alasan halaman terbatas, cukup bagian bawahnya dipotong,” tambahnya.

Bahkan dalam peristiwa-peristiwa tertentu, Detikcom, cuma mencantum judul berita tanpa ada tubuh berita. Biasanya untuk peritiwa khusus seperti ledakan bom yang belum dikonfirmasi atau tertangkapnya teroris yang paling dicari. Demi updating, cuma judul pun yang penting paling duluan!

Psikologi Cybernews

Halaman web atau laman dalam sebuah situs memang tidak terbatas alias unlimited. Tidak seperti media cetak atau media konvensional lainnya yang dibatasi kolom dan baris atau durasi untuk televisi dan radio. Salah satu batasnya untuk media online ini, mungkin hanya keindahan dan kenyamanan.

Sebaliknya, dalam sebuah web, seseorang bisa menulis sangat panjang dan bisa menulis sangat pendek. Semuanya sangat tergantung pada keindahan dan psikologis pembaca.

Pembaca tidak suka tulisan panjang di internet karena tulisan di monitor komputer atau laptop ini sangat melelahkan. Ini berkaitan dengan masalah kenyamaman.

Setiap media memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tetapi tetap saja kehadiran media baru membuat ketar-ketir pengelola media konvensional.

Kini media cetak dan televisi pun beramai-ramai melengkapi dirinya dengan membangun portal berita untuk memuaskan kelompok masyarakat yang selalu ingin berita terhangat dan tercepat.

Kehidupan masyarakat yang serba cepat akibat kemajuan teknologi informasi ini bahkan telah menyebabkan pemilik media konvensional berputar arah dengan membangun sistem konvergensi.

Oplah Koran

Detikcom edisi Senin, 21/07/2008 mengutip data dari Freedom Forum, jumlah koran di Amerika Serikat terus menurun sejak tahun 1959. Tercatat sebanyak 300 ribu koran telah tutup sejak itu.

Saat ini di Amerika tercatat ada 1.437 koran harian dengan 60 persen di antaranya beroplah 50 ribu eksemplar dan semua dikelola oleh swasta. Ada 1.600 televisi dan 13 ribu stasiun radio, 6.700 majalah dan koran yang terbit mingguan dan 400 TV kabel yang berasal dari luar Amerika Serikat.

Wally Dean, wartawan senior yang sekarang menjadi direktur online broadcast di Committee of Concerned Journalists (CCJ), juga mengatakan hal yang serupa. Dean menegaskan bahwa oplah koran memang terus menurun, dan terjadi penurunan sebesar 1 persen setiap tahunnya dalam 20 tahun terakhir ini.

"Penonton berita sore menurun 50 persen dalam 30 tahun terakhir dan penonton TV yang menayangkan berita lokal menurun 20 persen, di seluruh TV lokal di Amerika dalam 20 tahun terakhir ini," jelas Dean.

Perubahan konsumsi masyarakat akan berita pun kemudian bergerak menuju pertumbuhan media online. "Saat ini 50 persen pembaca koran beralih menjadi pembaca media online," kata Dean.

Karena terjadi penurunan pembaca media konvensional, Dean mencatat telah terjadi pengurangan karyawan di sejumlah perusahaan media yang menyebabkan para wartawan kehilangan pekerjaannya. Dalam rangka efisiensi, perusahaan media mengganti karyawan yang bergaji besar dengan karyawan yang bergaji lebih rendah, atau bahkan tidak digantikan sama sekali. Juga ada beberapa pekerjaan yang bisa digantikan fungsinya oleh komputer, seperti editor bahasa dan ejaan.

"Bahkan ada koran di Los Angeles yang sedang mencoba proses redaksionalnya dilakukan di India," kata penulis buku We Interrupt this Newscast ini.

Antara, edisi 25/05/08 menulis, lebih dari 100 reporter, editor, fotografer dan jurnalis lainnya yang bekerja pada suratkabar terkemuka AS, Washington Post, menerima paket pensiun dini yang ditawarkan manajemen koran yang dikenal dengan inisial "The Post" ini.

The Post mengurangi beban operasi bisnis meski nantinya kekuatan kerja redaksi (newsroom) berkurang 10 persen dari jumlah yang ada sekarang.

Selama dua dekade terakhir ini, sirkulasi dan pendapatan iklan The Post menyusut sehingga perusahaan terpaksa menawari wartawan dan karyawannya untuk pensiun dini, tapi The Post tak mau memilih opsi pemutusan hubungan kerja secara sepihak.

Pada 1999, The Post meraup pendapatan operasional sebesar 157 juta dolar AS, tapi pada 2007 anjlok menjadi 66 juta dolar AS, sementara total sirkulasi yang pada 1993 mencapai 830 ribu eksemplar kini berkurang menjadi 638 ribu eksemplar.

Sejumlah figur terkenal di koran itu, termasuk para penerima anugerah jurnalisme tertinggi AS, Pulitzer, menyatakan akan pensiun dini.

Mereka itu antara lain spesialis liputan perang Thomas E. Ricks, penulis "feature" Linton Weeks, suami istri spesialis masalah internasional John Ward Anderson dan Molly Moore, dan kritikus film peraih Pulitzer, Stephen Hunter.

Sejumlah jurnalis top lainnya belum memutuskan pensiun dini, namun beberapa minggu ke depan mereka segera mengikuti 100 koleganya itu. Mereka ini di antaranya wartawan politik peraih Pulitzer, David Broder dan kolumnis olahraga yang juga penyiar stasiun televisi khusus olahraga ESPN, Tony Kornheiser.

Backing Online

Sarie Novian dalam www.netsains.com mengutip pernyataan Chief Executive of The United States–Garcia Media Group, Mario Garcia, bahwa media cetak oplahnya menurun dan terus mengarah ke online.

Garcia menggambarkan, perjalanan baru sebuah media akan berawal dari breaking news yang dibaca melalui email atau ponsel. Kemudian para pembaca akan melanjutkannya dengan membaca berita melalui situs online. Dan akan berakhir dengan membaca koran di hari esoknya.

Media cetak yang memiliki backing online maka pendapatan iklannya pasti naik. Menurut data Newspaper Association of America (NAA) pada bulan Mei tahun ini, pendapatan iklan cetak menurun sekitar 13,2 persen. Sedangkan pendapatan iklan online naik sekitar 7 persen dari total pendapatan iklan yang mencapai 10,6 miliar dolar AS.

Backing online memang menjadi pilihan dan itu dilakukan media besar seperti Kompas, Media Indonesia, Republika termasuk media daerah seperti Waspada, Jawa Pos, Suara Merdeka dan Pikiran Rakyat pun mulai serius menggarap situs beritanya.

Sementara stasiun televisi yang cukup serius membangun portal beritanya adalah SCTV (www.liputan6.com) dan Metro TV (www.metrotvnews.com). Selain membangun portal berita, televisi juga untuk memanjakan pemirsanya--yang hidup dalam keterburu-buruan--menyediakan rubrik breaking news saban jam dan running texts atau tulisan berjalan.

Hiperealitas Media

Maraknya media online dan tumbuh suburnya televisi partikelir tidak hanya berdampak pada pertumbuhan ekonomi (iklan) tetapi juga berimbas pada sosial dan budaya (dampak negatif). Sosiolog Prancis Jean Baudrillard menyebutnya hiperealitas media atau distorsi makna dalam media.

Dalam buku Transpolitika, Yasraf Amir Piliang menggambarkan hiperealis sebagai suatu kondisi ketika semuanya dianggap lebih nyata dari kenyataan. Kepalsuan dianggap lebih benar dari kebenaran, isu lebih dipercaya ketimbang informasi, rumor dianggap lebih benar ketimbang kebenaran. Dampak sosial dan budaya hiperealis itu adalah:

Pertama, disinformasi. Distorsi makna yang terus menerus akan menimbulkan ketidakpastian dan chaos. Angka-angka statistik, jajak pendapat, nilai tukar, inflasi, GNP, kerusuhan, skandal, angka pemilihan umum, hasil referendum atau angka kemiskinan dan pengangguran sebagai informasi kini kehilangan kredibilitas. Sebagian besar dianggap sebagai topeng, kesemuan yang tidak menggambarkan realitas sosial yang sesungguhnya.

Kedua, depolitisasi. Hiperealitas media menciptakan model komunikasi satu arah yang di dalamnya terbentuk massa sebagai mayoritas yang diam. Massa yang tidak memiliki daya resistensi dan daya kritis terhadap tanda-tanda yang dikomunikasikan media. Massa mengenyam informasi yang disuguhkan media. Kebenaran dan fakta pun bukan realitas sesunggugnya melainkan realitas versi media.

Ketiga, banalitas infomasi. Kecenderungan sekarang informasi yang dihadirkan mulai dari media televisi, media cetak hingga internet banyak yang remeh-temah. Bahkan sama sekali tidak ada yang bisa diambil hikmahnya. Di dalam dunia banalitas informasi apapun dapat diolah menjadi berita dan data.

Keempat, fatalitas informasi. Informasi yang membiak tanpa henti dan tanpa kendali di dalam media telah menciptakan kondisi fatalitas informasi yaitu kecenderungan pembiakan informasi ke arah titik ekstrem atau melampaui nilai guna, fungsi, dan maknanya yang menggiring ke arah bencana. Dalam kondisi ini informasi kehilangan loginya sendiri. Informasi tidak lagi memiliki tujuan,fungsi dan makna.

Apalah manfaatnya bagi pembaca ketiga media menyuguhkan cerita atau gambar operasi plastik hidung Michael Jackson. Atau saat media menayangkan pernikahan mewah seorang anak pejabat atau artis sinetron.

Atau yang terbaru, media sibuk tentang "anugerah" kelahiran cucu Presiden SBY yang lahir "disengaja" pada 17 Agustus 2008. Apalah arti sebuah tanggal kelahiran dibandingkan kemiskinan dan mayoritas kehidupan bangsa Indonesia yang terpuruk. Media terjebak pada pencitraan, mitos dan takhyul!

Kelima, skizofrenia. Media menggunakan tanda-tanda dalam ajang permainan bahasa sehingga menyebabkan terciptanya kondisi kegalauan bahasa dan informasi. Akibatnya pencarian makna dan kebenaran menjadi mustahil.

Televisi misalnya lebih mengedepankan simbol-simbol entertainment dibandingkan substansi. Maka presenter pun dihadirkan yang berani memotong pembicaraan narasumber plus bahasa yang absurd atau ngambang seperti istilah “signifikan” dan banyak lagi.

Keenam, hipermoralitas. Media menjadi ajang pembongkaran berbagai batas (sosial, moral, kulturan, seksual). Akhirnya tercipta dunia ketelanjangan.

Di dalamnya tidak ada lagi batas-batas mengenai baik/buru, benar/salah, boleh/takboleh, berguna/tak berguna untuk dikomunikasan dalam media. Bahkan tidak ada batas lagi mana penjahat dan orang baik-baik, mana koruptor dan mana orang jujur.

Ini sebuah senjakala bagi media di Indonesia![YAYAT CIPASANG]