EKSKLUSIVITAS DAN JURNALISME KUNING

"Eksklusivitas adalah satu hal dan kemanusiaan adalah hal yang utama"


ITULAH tema yang diusung Liputan 6 SCTV dalam merayakan usianya yang memasuki satu dasawarsa di sebuh hotel berbintang di Jakarta, belum lama ini. Tema itu selain aktual juga sangat mendasar untuk menyikapi jurnalisme televisi di Indonesia yang masih belia.

Perayaan satu dasawarsa Liputan 6 tidak hanya terkesan "mewah" tetapi juga sekaligus menjadi tempat reuni mulai dari pengusaha, tokoh politik dan tokoh pers. Bahkan seorang Wakil Presiden Jusuf Kalla pun menyempatkan hadir hanya untuk mengucapkan selamat.

Perayaan satu dasawarsa juga dimeriahkan peluncuran buku berjudul Jurnalisme Liputan 6 (Antara Peristiwa dan Ruang Publik) yang diterbitkan LP3ES. Buku ini selain mengupas jurnalisme televisi secara umum juga memuat kasus-kasus besar yang diungkap Liputan 6. Di antara kasus yang dibahas adalah kasus "cabut gigi" yang membuat Direktur Pemberitaan Sumita Tobing terpental dari SCTV dan kasus kekerasan di STPDN.

Pemberitaan kedua kasus ini sangat berdampak luas. Kasus "cabut gigi" yang dilontarkan Sarwono Kusumaatmadja untuk menyebut Soeharto harus lengser dari kursi presiden cukup berdampak luas. Begitu juga pemberitaan yang gencar tentang STPDN membuat sekolah para pamong ini mereformasi diri.

Jurnalisme televisi adalah barang baru di Indonesia. Pembenahan di segala sisi harus terus dilakukan. Paling tidak ada empat isu jurnalisme televisi yang harus mendapat perhatian serius yaitu klaim eksklusivitas, agenda setting, kode etik, dan intervensi pemilik modal.

Klaim eksklusivitas belakangan ini menjadi nilai jual di tengah persaingan antarstasiun televisi yang semakin ketat dan ketika rating menjadi tuhan. Eksklusivitas diterjemahkan menjadi yang terdepan, terhebat dan tercepat. Tetapi belum tentu terpercaya dan terakurat.

Kasus terbaru seputar klaim eksklusivitas adalah tentang peliputan penggerebekan sarang teroris kelompok Noordin M. Top di Wonosobo, Jawa Tengah. Kasus ini menempatkan ANTV sebagai satu-satunya televisi yang paling dini dan pemilik gambar yang lengkap dalam menyiarkan pengerebakan itu.

Namun, klaim eksklusivitas itu mendapat sorotan kritis termasuk komentar miring di milis-milis. Farid Gaban, pemilik Kantor Berita Pena Indonesia misalnya, menyebut meski mendapat liputan eksklusif, ANTV dan Karni Ilyas kehilangan daya kritis terhadap obyek liputannya. Itu merupakan keniscayaan (atau konsekuensi logis) dari metode jurnalisme yang mereka terapkan.

Menurut Farid Gaban, salah satu cara paling ampuh dalam mendapatkan eksklusivitas adalah memelihara hubungan baik serta mengail bocoran dari "insider" (orang dalam). Dan dalam soal seperti ini, Karni memang istimewa. Dia sudah menunjukkan reputasinya ketika menjadi redaktur hukum Majalah Tempo, ketika membesarkan Majalah Forum (Keadilan), ketika di SCTV dan ketika kini di Star ANTV.

Sayangnya, selama ini eksklusivitas selalu diidentikan dengan berita yang magnetnya besar dan cakupannya luas. Padahal, bisa saja eksklusivitas juga terkait dengan berita lokal. Misalnya terungkapnya kasus busung lapar di pinggiran Jakarta dan terungkapnya pembocor soal ujian nasional. Saya malah lebih setuju bila berita yang orisinal adalah yang layak mendapat sebutan eksklusif. Orisinal dalam tataran ide dan angle peliputan.

Dalam pandangan Sumita Tobing jurnalisme televisi kita juga sangat lemah dalam mempraktikkan agenda setting. Akibatnya berita televisi di Tanah Air itu malah seperti puzzle, tidak utuh dan tidak komprehensif.

Kasus pemberitaan kelangkaan pupuk, misalnya hanya berkutat pada peliputan di level petani. Tidak ada usaha dari pemberitaan televisi untuk mengurai benak kusut kelangkaan pupuk yang menahun dan terjadi berulang.

Malah ketika peliputan pupuk belum tuntas, pemberitaan sudah beralih kepada isu lain yang sedang hangat. Berita pupuk otomatis terlindih. Di sini sebenarnya yang diperlukan adalah konsistensi dan fokus pada sebuah pemberitaan. Akibatnya, pemberitaan selama ini hanya menjual isu tidak menjual substansi dan solusi.

Selain kelemahan dalam agenda setting, televisi Indonesia juga cenderung mempraktikkan jurnalisme kuning alias mengeksploitasi selera rendah manusia (low taste). Pemberitaan televisi setiap hari dihiasi pembunuhan, perkosaan, penganiayaan, dan darah.

Celakanya, pemberitaan itu tidak mengindahkan etika dan sisi kemanusiaan. Korban perkosaan misalnya namanya ditulis jelas tidak memakai inisial atau nama samaran. Begitu juga pelaku kejahatan anak-anak wajahnya tidak disamarkan dan banyak lagi kasus lainnya. Padahal untuk kasus ini sudah diatur dengan gamblang dalam Pasal 18 Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran KPI. “Anak dan remaja yang terkait permasalahan dengan polisi atau proses pengadilan, terlibat dengan kejahatan seksual atau korban dari kejahatan seksual harus disamarkan atau dilindungi identitasnya.”

Belakangan yang mendapat sorotan kritis di milis-milis adalah tentang cara peliputan korban kecelakaan kereta api dan perkosaan. Sebuah stasiun televisi misalnya tega-teganya mewawancarai korban tabrakan Kereta Api Sembrani dan KA Kertajaya di dekat Stasiun Gubug, Purwodadi, Jawa Tengah, yang tengah meregang nyawa. Padahal bila memang demi eksklusivitas bukan caranya begitu. Cukup mengambil gambarnya saja dari berbagai sudut.

Lagi-lagi dalam kasus ini saya melihat bahwa jurnalis tersebut tidak membaca atau memahami aturan yang dibuat KPI tentang “Privasi Mereka yang Tertimpa Musibah” Pasal 23. “Lembaga penyiaran tidak boleh menambah penderitaan orang yang sedang dalam kondisi gawat darurat, korban kecelakaan atau korban kejahatan, atau orang yang sedang berduka dengan cara memaksa, menekan, mengintimidasi orang bersangkutan untuk diwawancarai atau diambil gambarnya.”

Begitu juga ketika sebuah stasiun televisi meliput korban perkosaan. Sang reporter begitu entengnya mewawancarai korban sangat detail. Bahkan sempat-sempatnya bertanya tentang bagaimana laki-laki tersebut memperkosanya. Di sini tidak terlihat reporter berempati kepada korban.

Hal lain yang perlu dicermati para jurnalis di news room sebuah televisi adalah intervensi pemilik modal. Setelah rezim Orde Baru tumbang kini intervensi dalam kebijakan redaksi bukan lagi dari pemerintah tetapi dari pemilik modal.

Bagi pemilik modal ideologi sejatinya adalah kapital. Tentu saja pemberitaan bagi pemilik modal harus menguntungkan baik dalam jangka pendek seperti iklan atau jangka panjang seperti keberlangsungan usaha. Soal terakhir ini biasanya, pemilik modal meminta redaksi untuk menghindari berita-berita sensitif karena khawatir mendapat teguran dari pemerintah yang berujung pada penggeseran pemilik saham hingga penutupan usaha.

Saat hadir dalam satu dasawarsa Liputan 6, Sumita Tobing memberikan perhatian serius soal intervensi pemilik modal ini. Sumita Tobing menyarankan, untuk lepas dari intervensi pemilik modal, para jurnalis di news room sedapat mungkin pandai menangkap visi dan misi pemilik modal.

Dari sini saya menangkap saran Sumita Tobing ini (maaf kalau saya salah) sebagai kepandaian berkelit para jurnalis. Sayangnya kepandaian berkelit ini tidak diajarkan oleh sekolah jurnalistik di manapun. Situasi dan kondisilah yang mengasah ketajaman sebuah news room untuk berkelit dan lentur dari tekanan pemilik modal. Ini sudah dibuktikan oleh Liputan 6 dalam mengekspose secara komprehensif kasus “cabut gigi” dan kasus STPDN.[Yayat Cipasang]