PERS DAN BANGSA AMNESIA

BELAKANGAN ini Indonesia diliputi peristiwa yang memiliki nilai berita serta nilai politik yang sangat tinggi. Ini sebuah rekor, karena sebelumnya Indonesia tidak pernah dibombardir peristiwa yang datang bertubi-tubi. Kalau pun ada biasanya sangat berjarak.

Mulai dari peristiwa kenaikan bahan bakar minyak, foto mesum anggota DPR Max Moein, putusan kontroversial pilkada Maluku Utara, blue energy Joko Suprapto, insiden Monas, penangkapan Muchdi Pr dan kontroversi kematian mahasiwa Universitas Nasional di Rumah Sakit Pusat Pertamina, saling tumpang tindih dalam memori bangsa Indonesia pekan-pekan ini.

Isu dan peristiwa ini tentu sangat seksi bagi pers. Media pun meliputnya dari berbagai angle dengan beragam narasumber plus berbagai kepentingan yang menyertainya.

Newroom benar-benar crowded! Begitu juga pembaca media di Tanah Air. Isu yang datang bertubi-tubi tersebut tidak memberikan kesempatan kepada mereka untuk menimbang, merenung dan memberikan penilaian.

Isu baru datang ditimpa peristiwa lain dan begitu terus berulang. Peristiwa dan berita menjadi dangkal dan banal. Kekhawatiran akibat bertubi-tubinya peristiwa ini menjadikan pembaca dan bangsa Indonesia gampang melupakan sebuah isu atau peristiwa (amnesia).

Gelontoran peristiwa memunculkan berbagai kecurigaan dari mulai kabar burung, sas-sus dan selentingan yang mengarah kepada hal yang berbau teori konspirasi, enak didengar dan sulit dibuktikan.

Pertama, ada anggapan isu dan peristiwa itu lahir direkayasa untuk menenggelamkan permasalahan yang sebenarnya yaitu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Tokoh yang percaya bahwa peristiwa itu direkayasa adalah Fadli Zon, Direktur Eksekutif Institute for Policy Studies (IPS). Ia menyebutkan penangkapan Muchdi Pr dalam kasus pembunuhan Munir dianggap sebagai pengalihan isu ketidakmampuan pemerintah dalam penyelesaian masalah ekonomi dan kenaikan harga BBM.

Kedua, peristiwa yang datang bertubi-tubi lahir karena konspirasi asing. Banyak kalangan yang menduga, penangkapan Muchdi dianggap sebagai rekayasa asing lewat kompradornya di Indonesia untuk memutilasi dan melemahkan kekuatan militer dan intelijen.

Begitu juga insiden Monas, dikabarkan sebagai pekerjaan agen asing di Indonesia untuk melemahkan kekuatan radikal umat Islam. Targetnya hingga 2010 Islam garis keras ini musnah dari bumi Indonesia. Tujuan akhirnya untuk memuluskan agenda-agenda negara Barat di Indonesia yang selama ini selalu mendapat resistensi dari kelompk muslim radikal.

Tugas Pers

Tugas wartawan tentu saja bukan malah mengipasi atau menjadi provokator peristiwa yang berbau teori konspirasi atau malah terlibat dan hanyut dalam kehidupan sas-sus.

Celaka dua belas, bila wartawan yang seharusnya memberikan jalan bagi sebuah peristiwa agar terang benderang malah membuat sebuah peristiwa kusut atau malah semakin kabur.

Di tengah crowded-nya peristiwa dan isu, sebagai wartawan saya mengajak kepada rekan-rekan jurnalis di Tanah Air tidak hanyut ke dalam sebuah isu.

Kita punya kewajiban untuk memelihara ingatan kolektif masyarakat Indonesia untuk tidak gampang melupakan sebuah peristiwa (amnesia). Reporter, redaktur dan pemimpin redaksi sebagai instrumen penting dalam newroom hendaknya memiliki poticalwill dan goodwill untuk tetap memelihara isu sehingga sebuah peristiwa tidak mudah dilupakan masyarakat.

Sebagai contoh, kenaikan harga BBM tetap harus menjadi perhatian penuh redaksi kendati isu Munir, insiden Monas dan isu Max Moein berseliweran ke redaksi. Pemihakan kepada kebenaran itu perlu tetapi pemihakan kepada masyarakat yang tidak punya akses ke media itu sangat perlu.

Apalagi, pers harus waspada bila peristiwa itu dirancang untuk membuat amnesia kolektif yang terstruktur dan sistematis. Kita harus berkaca kepada Orde Baru yang pernah mencuci otak kolektif bangsa ini untuk imun (kebal), melupakan bahkan menghapus peristiwa sejarah dan tragedi kemanusiaan dari bumi Indonesia.

Jenis Fungsi Pers

Amien Rais dalam buku terbarunya “Agenda Mendesak Bangsa, Selamatkan Indonesia”, membuat sebuah pengandaian fungsi media massa ke dalam watch dog, guard dog, lap dog, circus dog dan terakhir stupid dog.

Dalam fungsi watch dog (anjing pengawas), pers adalah musuh berat pemerintah, elite politik dan korporasi besar. Pers di sini membela masyarakat yang lemah dan terpinggirkan karena kebijakan pemerintah atau teralienasi karena cengkeraman kapitalis.

Kedua, fungsi guard dog (anjing penjaga). Ini kebalikan dari watch dog. Pers menjadi pendukung lembaga-lembaga politik yang dominan, kelompok-kelompok ekonomi penting dan nilai-nilai yang diterima masyarakat luas.

Namun, dalam model ini pers masih dapat mengkritik lembaga-lembaga itu terutama bila elite-nya melanggar sistem nilai yang berlaku. Pers semacam ini disebut juga pendukung statusquo.

Ketiga, model fungsi lap dog (anjing pangkuan). Dalam model ini pers memproduksi berita-berita untuk melayani kepentingan elite politik dan elite ekonomi serta membiarkan kaum miskin tetap berada di pinggiran.

Sayang sekali pada umumnya media massa, redaksi bahkan para kolumnis di media informasi utama telah mengambil posisi sebagai lap dog. Amien Rais mengambil konteks Amerika Serikat.

Namun media massa lap dog pun sudah merasuki Indonesia sejak zaman kolonial namun lebih parah terjadi di era Soeharto dan di era reformasi. Namun, pada era reformasi ini lap dog terjadi tidak semata-mata-mata menghamba kepada pemerintah tetapi juga kepada korporasi besar.

Persaingan media yang sangat ketat setelah keran penerbitan dibuka pada era pemerintahan BJ Habibie, mengakibatkan pertumbuhan media tidak sehat. Media menghamba kepada pemasang iklan atau sumber finansial. Pers pun telah menjadi budak kapitalis!

Kini, hampir tidak ada pers yang menolak sebuah iklan. Pers Indonesia menjadi media massa munafik. Contohnya di saat ia mengkritik Lapindo Brantas yang sudah dua tahun ini tidak becus menyelesaikan krisis kemanusiaan di Sidoarjo akibat lumpur, pada saat yang sama kebohongan PT Minarak Jaya yang menangani ganti rugi di Porong dimuat sebagai advertorial di media bersangkutan.

Turunan dari model lap dog itu akan menghasilkan model pers circus dog (terlatih untuk memihak elite) dan terakhir stupid dog (tanpa disuruh akan menghamba kepada kapitalis, tekanan global dan penguasa). Hancur dan tamatlah demokrasi bila pers sudah mencapai model stupid dog.

Sudah sampai dimanakah media atau pers Anda, wahai para jurnalis? Satu-satunya model yang akan tetap menghindari bangsa ini dari amnesia massal adalah tetap berikhtiar untuk memajukan pers tetap menjadi anjing penjaga (watch dog).[YAYAT CIPASANG]