MONOPOLI PENYIARAN MENGANCAM PEMILU 2009

“Industri penyiaran bukan industri sepatu melainkan industri khusus”

Itulah istilah yang dilontarkan Amir Effendi Siregar, anggota Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) dalam berbagai kesempatan.

Istilah itu juga yang menjadi “tag” somasi terbuka MPPI kepada Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh. Somasi juga ditembuskan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla, 29 Oktober 2007.

Akibat somasi MPPI ini, isu monopoli media penyiaran khususnya televisi terus menggelinding dan tak terbendung. Kantor Menkominfo, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Komisi I DPR kembali beramai-ramai memelototi Undang-undang 32/2002 tentang Penyiaran dan peraturan turunannya.

Perbedaan pendapat pun terjadi. Tapi lahirnya kesadaran bersama bahwa industri penyiaran harus berbenah dan telah terjadi kesalahan fatal, patut mendapat apresiasi. Pemerintah selama ini tidak tegas dan telah membiarkan industri televisi berkembang dalam kelompok-kelompok pemilik modal yang dalam istilah pengamat politik Eep Saefulloh Fatah dikenal 4L (Loe Lagi Loe Lagi).

Sebagai gambaran, Grup Media Nusantara Citra (MNC) memiliki RCTI, TPI dan Global TV. Grup Para memiliki Trans TV dan Trans 7. Surya Citra Media (SCM) menguasai SCTV, O Channel dan dalam waktu dekat juga akan menguasai Indosiar.

Sementara Grup Bakrie memiliki ANTV dan TVOne serta memiliki kekerabatan dengan televisi lokal JakTV. Ini karena salah seorang pemilik saham TVOne juga memiliki saham di JakTV.

Perbedaan Memahami Monopoli

Konsentrasi kepemilikan dan pemilikan silang ujung-ujungnya adalah monopoli. Apalagi kalau mau memakai istilah “ekstreme” yang diperkenalkan MPPI bahwa memiliki satu frekuennsi saja sudah monopoli.

Logika yang digunakan MPPI sangat berdasar karena memang frekuensi itu adalah ranah publik atau domain publik ciptaan Tuhan. Setelah seseorang atau kelompok usaha masuk ke frekuensi otomatis orang atau kelompok lain tidak bisa menggunakan, memiliki atau menguasainya. Inilah hakikat monopoli yang sebenarnya. Istilah ini sangat jauh berbeda dengan monopoli dalam pengertian UU 5/1999 tentang Antimonopoli.

Monopoli dalam industri penyiaran tidak bisa dilihat dari kaca mata industri sepatu yang dapat dihitung secara kuantitatif. Misalnya sebuah produk bermerak A menguasai pasar 50 persen lebih itu sudah sangat jelas dikatakan monopoli.

Sedangkan untuk industri penyiaran, monopoli tidak bisa dilihat hanya secara kuantitatif tetapi juga secara kualitatif. Karena dalam industri penyiaran ada monopoli yang sifatnya laten atau ideologis. Pemilik tidak hanya memiliki kepentingan ekonomi tetapi juga kepentingan ideologi. Kendati pada era sekarang kepentingan ideologi ujung-ujungnya juga kepentingan ekonomi, yaitu neoliberal.

Cengkeraman Kapitalis

Kasus pemilik modal memanfaatkan televisi sudah terang benderang di Indonesia. Mereka tidak lagi menyusup lewat pembingkaian berita (framing) tetapi sudah vulgar melalui blocking time seperti membuat talk show pesanan.

Contoh pemilik modal melindungi kepentingan kelompok usahanya lewat televisi adalah kasus ANTV dan Lativi (sekarang TVOne), milik kelompok Bakrie.

Dalam memberitakan semburan lumpur panas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, sangat terlihat kedua televisi ini menggunakan framing sesuai dengan kepentingan pemilik modal.

ANTV dan TVOne memilih menggunakan istilah “Lumpur Porong”. Sedangkan televisi lain menggunakan frasa “Lumpur Lapindo”. Kedua istilah ini dalam kajian framing memiliki tujuan berbeda yang sangat substansial.

Dalam istilah Lumpur Sidoarjo, pemilik modal secara sistematis mengalihkan atau menggeser tanggung jawab penanganan lumpur. Dalam istilah Lumpur Sidoarjo, yang harus bertanggung jawab berarti Pemda Sidoarjo. Sedangkan dalam istilah Lumpur Lapindo berarti yang harus bertanggung jawab adalah PT Lapindo Brantas.

Sedangkan pemilik modal memanfaatkan media lewat talk show dimanfaatkan dengan sempurna oleh RCTI, SCTV dan Metro TV. Kasus RCTI terjadi pada Juni 2006 saat ramai-ramainya kasus Negotiable Certificate of Deposit (NCD) bodong senilai 28 juta dolar AS dari Unibank ke PT Citra Marga Nusaphala Persada yang melibatkan Hary Iswanto Tanoesoedibjo. Bos besar ini adalah juragan MNC yang menaungi RCTI, TPI dan Global TV.

RCTI sampai membuat program khusus untuk menghadang “propaganda hitam” atas juragan mereka. Program berkedok acara bincang-bincang itu ditayangkan untuk meng-counter berita-berita hitam di media lainnya dengan menghadirkan narasumber yang senada dan seirama dengan sang bos.

Kasus yang sama juga terjadi di Metro TV. Seorang produser pernah berkisah dengan kesal lantaran banyak topik liputan di medianya tidak bisa ditayangkan karena terkait kepentingan bisnis dan politik Surya Paloh, bos besar di Grup Media Indonesia.

Contoh yang sangat gamblang bisa dilihat dari framing program bincang-bincang Save Our Nation yang dibawakan Rizal Mallarangeng. Ia sebagai pengendali bincang-bincang sangat jelas dalam mengarahkan pertanyaan yang sangat propemerintah.

Hal serupa juga dilakukan SCTV pada Januari 2008 dalam bincang-bincang yang dirancang untuk menghormati almarhum bekas Presiden Soeharto. Narasumber yang dipilih seperti paduan suara mulai dari Moerdiono, Mohammad Assegaf, hingga Titiek Soeharto.

Sedangkan Adnan Buyung Nasution yang pernah dizalimi Orde Baru—seharusnya berbicara di segmen berikutnya—memilih keluar sebelum waktunya. Alasanya, pembicaraan sangat tidak seimbang dan hanya hujan pujian kepada Soeharto karena yang datang memang kroninya.

Pemilu 2009

Contoh-contoh di atas sudah bisa menjadi bukti kekhawatiran MPPI akibat sejumlah pemilik modal “mengakali” UU Penyiaran lewat merger, pengalihan saham, konsentrasi kepemilikan, kepemilikan silang dan apapun namanya. Ujung-ujungnya sama saja, monopoli. Kelompok yang rugi bukan pemerintah atau KPI tetapi jelas-jelas masyarakat.

Media penyiaran yang seharusnya menjadi public sphere menurut konsep filsuf Habermas (The Structural Transformation of the Public Sphere, 1989), malah menjadi ranah sekelompok orang atau elite tertentu untuk “berpesta”. Lebih bahayanya lagi bila pemilik modal berkongsi dengan kekuasaan atau partai tertentu. Apalagi Pemilu 2009 sudah diambang pintu.

Lihat saja, para elite nasional dengan mendompleng Seabad Hari Kebangkitan Nasional begitu narsis, menjual diri lewat iklan di televisi. Bahkan ada pemimpin partai untuk “jualan diri” (bukan jualan konsep) sampai menghabiskan dana Rp 20 miliar di sebelas stasiun televisi. Itu yang vulgar lewat iklan, lebih bahaya lagi kalau dana itu masuk ke news room yang mendanai agenda setting media.

Saya pikir bukan sebuah utopia untuk membangun penyiaran Indonesia yang berkonsep diversity of ownership, diversity of content dan diversity of voice. Syaratnya, pemerintah harus tegas untuk menindak secara hukum pemilik modal yang melanggar UU Penyiaran.

Selama ini pengelola televisi ketika diusik tuduhan monopoli selalu berdalih bahwa perusahannya tidak melanggar UU Perseroan dan UU Antimonopoli. Jawaban pemerintah sebenarnya sangat gampang, lho Anda itu mendapat izin mendirikan televisi itu bukan dari UU Perseroan atau UU Antimonopoli tetapi dari UU Penyiaran.

Dari awal, sejatinya pemilik televisi itu sudah kontrak mati dengan UU Penyiaran. Mereka tidak boleh merger, menjual saham, memiliki dua televisi di satu provinsi, boleh dua tapi beda provinsi. Terus bila tidak mampu menyelenggarakan penyiaran, izin yang telah diperoleh dikembalikan lagi ke negara.

Jadi, sudah sangat jelas bahwa industri penyiaran memang beda dengan industri sepatu, Bung![YAYAT CIPASANG]