MASIH SOAL POTRET INDUSTRI TELEVISI


Layar kaca memang menghadirkan kemewahan yang teramat-sangat. Dalam pemikiran setiap orang awam, ruang itu disediakan hanya untuk tokoh-tokoh terkenal di bidangnya dan pusat perhatian khalayak. Di luar kelompok itu, ya dipersilahkan duduk manis sebagai penonton. Atau, kalau mampu, Anda boleh jadi pengamat untuk mengomentari seluruh tayangan sesuka-sukanya. Kalau dimuat di media massa yang bakal dapat honor, sedangkan bagi yang berkomentar di warung kopi ya sekadar mulut berbusa-busa!

Sementara orang-orang dalam yang terlibat dalam penyiaran sebuah program televisi – juga masih dalam pemikiran orang awam – pastinya juga bukan orang sembarangan. Mereka adalah tenaga-tenaga terampil, cerdas, kreatif, berdedikasi, profesional, dan lulusan universitas ternama. Di luar kelompok itu, ya dipersilahkan bekerja di tempat lain sekaligus duduk manis sebagai penonton setia televisi. Siapa tahu cara itu bisa segera membangunkan kita dari mimpi untuk bekerja di stasiun televisi. Atau, terjerumus jadi pengangguran abadi lantaran ogah bekerja di bidang lain selain stasiun televisi.

Ups, segitunya!

Kolom pertama [POTRET INDUSTRI TELEVISI] ditulis saat saya sudah bergabung di stasiun televisi yang sekarang masih menafkahi saya. Masa itu, empat tahun selepas dari bangku kuliah, ketika televisi swasta nasional masih berjumlah lima. Jika mundur enam tahun – semasa masih mahasiswa ecek-ecek – televisi swasta nasional baru RCTI. Setahun kemudian lahir SCTV. Lalu, TPI dan ANTEVE. Dan, Indosiar menjadi stasiun televisi swasta paling bungsu pada 1996.

Poin yang ingin saya tegaskan:
- Pada masa itu stasiun televisi merupakan menara gading dengan segala kemewahan dan keunikannya. Sehingga, masyarakat awam harus “minder” dengan kegagahannya dan selalu bersuka-cita saat gerbang menara dibuka lebar-lebar.
- Masa itu, stasiun televisi sedang giat-giatnya membenahi diri dengan hardware dan software yang tidak murah, untuk berebutan simpati masyarakat dan membidik masa depan.
- Pada akhirnya masyarakat menjadi penentu cita rasa seluruh stasiun televisi, dengan rating dan share sebagai pedoman pemilihan dan penyusunan acara.

Kesimpulannya, stasiun televisi merupakan “raksasa” yang menggantungkan hidupnya pada kesenangan orang banyak. Sang “raksasa" merupakan kawula dan orang banyak merupakan gusti. Kawula harus patuh kepada gusti, agar ia bisa tetap disayang. Dengan kondisi seperti ini, mungkinkah lembaga pers dengan idealisme jurnalistiknya bisa menjadi bagian?

Kolom kedua [POTRET LEMBAGA PEMBERITAAN TELEVISI] selain mengupas kelahiran program Liputan 6 Petang, kolom itu juga membahas pertumbuhan program berita di setiap stasiun televisi – dulu masih disebut program informasi. Sekitar enam tahun sejak televisi swasta nasional mengudara, barulah masyarakat mendapatkan “tontonan” baru bernama berita. Bahkan, ia juga laksana “bayi raksasa” nan menggemaskan. Sehingga, kehadirannya langsung mendapat simpati dan mampu menggeser yang pernah ada.

Poin yang ingin saya sampaikan:
- Program berita dari stasiun televisi dengan pengemasan fakta yang berbeda dibandingkan dari yang pernah ada berhasil menjadi “selera” orang banyak.
- Pengelola program berita di stasiun televisi swasta berhasil mengukuhkan diri sebagai lembaga pers baru dan berkesempatan membesarkan sang bayi raksasa.
- Atas nama pasar dan selera pemirsa, lembaga pers di masing-masing stasiun televisi sudah harus memutar “otak” untuk meramu produk-produknya. Selain bermain-main dengan pengemasan fakta, mereka pun harus memanfaatkan teknologi untuk menghasilkan sesuatu yang baru.

Kesimpulannya, program berita merupakan “bayi raksasa” yang menggantungkan juga hidupnya pada kesenangan orang banyak. Sang “bayi raksasa” merupakan kawula dengan “raksasa” dan orang banyak sebagai gusti. Kawula harus patuh kepada gusti, agar bisa tetap disayang. Tapi, gustinya ada dua? Kok, seperti bekerja kepada dua Boss?

Jadi, pada kondisi zaman yang seperti itulah saya mewujudkan impian sebagai jurnalis televisi. Saya tidak akan memaparkan bagaimana harus “lompat-lompat” kecil dari satu divisi ke divisi lain untuk mewujudkan mimpi itu. Intinya, saya memang kadung kepincut pada sang “bayi raksasa”. Sehingga tidak peduli soal sosok gusti yang bakal dihadapi. Juga, soal hal-hal buruk yang biasanya ikut membayangi. Kali ini, saya berpikir positif seratus persen. Full khusnudzon. Bahkan saya juga tidak perlu melakukan shalat istikharah. Karena saya terlanjur haqqul yaqin bahwa inilah dunia yang saya cari.

Dan asal tahu saja, kolom kedua di atas saya tulis setelah bergabung dalam Divisi Pemberitaan. Artinya, saat itu saya sedang asyik-asyiknya berbulan madu dengan lingkungan sang “bayi raksasa” – meski belum sebagai jurnalis. Karena suatu keadaan, saya justru harus memulainya dari posisi pengarah acara (program director) atau sutradara dalam setiap penyiaran program berita. Sejujurnya, posisi ini pun sudah membuat saya bergairan dan menemukan banyak hal baru. Terutama, soal kaidah-kaidah televisi yang memang tidak terlalu saya kuasai.

Proses belajar di kelas dan praktik di ruang kendali selama menjalani pekerjaan sebagai pengarah acara membuat saya memahami juga teknik penyutradaraaan, bahasa gambar (grammar of the shot), dan prinsif bekerja dalam suasana tim. Asal tahu saja, proses pembelajaran itu gratis-tis-tis-tis! Dan jika selama ini saya kadang sombong dengan kemampuan menulis, maka kali ini saya jadi super-sombong dengan segala kemampuan tambahan itu. Harusnya – mungkin. Tapi percayalah, saya memang tidak berbakat untuk mengumbar kesombongan. Kalau mengumbar kenarsisan, barangkali masih boleh. Namanya juga manusia.

Kini saya bisa membuktikan, stasiun televisi bukanlah menara gading yang tidak peduli terhadap tangan-tangan kreatif dan berdedikasi. Karena gerbang kokohnya selalu terbuka dan menyediakan banyak ruang. Termasuk juga lahan-lahan untuk para calon jurnalis televisi. Karena, sang “raksasa” memang telah melahirkan “bayi raksasa”, yang juga membutuhkan tangan-tangan kreatif dan berdedikasi. [syaiful HALIM, GADO-GADO sang jurnalis, 2009]