APA yang terjadi pada dunia pertelevisian kita pada 1995? Adakah perubahan-perubahan besar setelah enam tahun televisi swasta mengudara? Bagaimana dampak kehadiran stasiun terbungsu Indosiar di lintas udara kita?
Hampir satu tahun, stasiun Indosiar membuka tirai penayangannya. Tanpa terasa, begitu banyak warna yang digoreskannya ke atas kanvas dunia pertelevisian kita. Pertama, dari sisi teknologi. Kalau sebelumnya, kita dimanjakan oleh stasiun swasta pertama RCTI dan SCTV dengan sajian gambar yang jernih dan tata suara yang stereo, maka Indosiar langsung menggebrak dengan kualitas NICAM-nya. Suatu terobosan baru dalam penyajian siara secara teknikal, yang diwujudkan dengan kecemerlangan video dan audio.
Maka yang terasa, pemirsa bukan cuma disuguhi sebuah alternatif saluran, tapi sebuah bahan perbandingan. Bagaimana setiap televisi memiliki kualitas siaran yang berbeda-beda, yaitu berkaitan dengan technical field strength.
Gebrakan Indosiar dengan NICAM-nya, tentu saja membangkitkan kompetisi dari segi teknik. Setelah RCTI yang diikuti SCTV menggeber kehebatan tata suara stereo-nya dan penayangan program secara bi-lingual (Indosiar juga melakukan langka ini), maka RCTI terus membuat terobosan lain. Usai siaran tele-text (seperti juga TVRI dan juga segera hadir Indosiar-text) meramaikan khasanah udara kita, program tiga dimensi pun dipromosikan secara gencar. Meski saat ini Cuma kartun animasi “Remi” yang menayang dengan kualitas 3-D, barangkali, program 3-D bisa disebutkan sebagai hasil klimaks persaingan antarstasiun dari sisi teknologi pada 1995 ini.
Bagaimana dengan stasiun televisi lain?
Tampaknya, renovasi dan penambahan kekuatan daya pemancar pun menjadi fokus utama para pengelola stasiun televisi lain. Seiring dengan penambahan jumlah stasiun transmisinya di seluruh pelosok tanah air. Hal ini suatu bukti, Indosiar sebagai stasiun terbungsu, biar bagaimana pun telah membangunkan kesiagaan para pengelola stasiun televisi untuk memperbaiki kualitas teknikal siarannya. Karena, pada akhirnya, pemirsa pun cendrung akan memilih stasiun dengan kualitas siaran terbaik saja.
Tak jauh dari sisi hardware, penuangan warna dari sisi software pun dilakukan stasiun milik Salim Grup ini. Terjadinya demam telecinele atau program Mandarin laga, biar bagaimana pun diawali sukses penayangan trilogi Chin Yung, The Return of Condor Heroes. Bukan itu saja, wabah serial silat ini pun ditandai sebuah sukses pola penayangan di prime time, yaitu stripping. Begitu pedang Yoko dan golok Thio Bu Kie sukses diudarakan secara stripping, maka televisi lain pun berlomba-lomba membeli program serial atau lepas Mandarin. Bahkan, untuk serial, ANTEVE dan SCTV turut menyemarakkan slot prime time-nya secara stripping pula!
Pada intinya, semua ini hanyalah merupakan fenomena persaingan dalam memanjakan pemirsa kita. Para pengelola stasiun televisi saling memutar otak di balik "dapur"nya, agar pemirsa bisa mereka ikat sekuat-kuatnya. Persaingan dari sisi software ini dipekuat lagi dengan promosi besar-besaran setiap program. Dan bukan lagi ditayangkan di slot promo stasiun yang bersangkutan. Tapi, hampir setiap minggu kita menyaksikan iklan setengah halaman di media cetak digeber habis-habisan oleh para PR stasiun televisi swasta kita.
SEBEGITU besarkah gonjang-ganjing yang terjadi di "dapur" stasiun televisi kita pada 1995 ini? Bisa jadi begitu. Ada tiga alasan yang mendasari kegelisahan yang menimpa para pengelola stasiun televisi swasta kita.
Pertama, dari sisi hardware. Investasi untuk mengelola sebuah stasiun memang membutuhkan dana yang tak kepalang, untuk penyiapan sarana hardware-nya. Hal ini didasarkan kondisi geografis Indonesia yang dikelilingi lautan, dijembatani gunung-gunung, plus terangkai dalam suasana kepulauan, membuat gelombang siaran dari pemancar televisi tidak gampang menyentuh para pemilik pesawat televisi.
Solusinya, perlu dimiliki banyak stasiun transmisi dengan daya pancar yang memadai. Bahkan sedapat mungkin, pengambilan gelombang bisa dilakukan melalui transponder satelit. Sehingga, kualitas siaran bisa lebih terjamin dan bisa menjangkau lebih banyak pelosok.
Kesenjangan penyiapan sarana hardware pada pengelola stasiun televisi kita, biar bagaimana pun, merupakan pekerjaan rumah yang selalu menggantung. Dan, hal ini menjadi awal kegelisahan itu. Persaingan di udara tampaknya telah membuat para peramu acara menjadi kalah sebelum bertanding. Karena, diyakini, para media planner agensi pun telah menghitung perolehan pemirsa potensial dari stasiun yang bersangkutan.
Kedua, dari sisi software. Menu siaran televisi yang menelan banyak slot tayang memang membutuhkan banyak ragam acara yang berkualitas, secara teknikal atau isi. Untuk memproduksi sendiri program yang dihidangkan, tentu saja tersangkut ketidaksiapan sumber daya manusia dan segala prasarana atau sarananya. Pada akhirnya, para programmer televisi kita menggantungkan masalah ini pada para distributor dan pengelola rumah produksi (Production House). Masalah pun timbul, seberapa besar para pengelola televisi bergantung pada kedua sumber tersebut?
Dengan lima stasiun swasta dan TVRI, upaya pencarian program berkualitas dan terpopuler menjadi bentuk persaingan yang tak seimbang. Karena berkait juga dengan sisi dana hanya beberapa stasiun saja yang bisa berakusisi dengan distributor terkemuka. Sehingga, mereka bisa mendapatkan film-film sekelas Mad Max, Crocodile Dundee, Robocop, House of Spirit atau film-film mandarin terbaru seperti Master Wong in Drunken Fist (The Last Hero in China). Hal ini sangat nyata terlihat, bagaimana dari lima televisi swasta, terjadi ketidakmerataan perolehan program-program yang populer di masyarakat dan diminati. Sayangnya, kelima stasiun itu sendiri justru memaksakan diri untuk memperebutkan segmen yang sama. Maka, apa lagi yang terjadi, selain ketimpangan.
Untuk bergantung pada pengelola rumah produksi pun, kita telah sama-sama tahu kualitas dan kuantitas yang bisa dihidangkan. Sangat sedikit para pengeloal PH yang bisa menyajikan program sesuai dengan standar broadcasting, secara teknikal atau isi. Maka yang terjadi, produk-produk seperti telenovela atau serial silat mandarin pun ramai dipancarkan, dengan "kelebihan" telah didubbing dalam bahasa Indonesia!
Ketiga, dari sisi penikmat atau pemirsa. Kegelisahan berikutnya, tentu tak lepas dari sisi penikmat program itu sendiri alias para pemirsa. Tingkat kemanjaan pemirsa kita memang makin menjadi-jadi. Setelah RCTI melepas decodernya, kesempatan untuk "berkuasa" memang terbuka sekali. Mereka telah dihadapkan banyak pilihan program, dengan hanya imbalan, menikmati juga slot komersial televisi yang bersangkutan.
Itu pun belum tentu dilakukan. Karena, saat commercial break berlangsung, mereka pun bisa leluasa menekan remote control-nya untuk memantau acara di stasiun lain. Akibatnya, perhitungan soal jumlah pemirsa potensial suatu program pun senantiasa berubah-ubah. Akibatnya, hampir setiap waktu lahirlah trend. Sayangnya, para pengelola televisi pun mesti dihanyutkan kecenderungan ini.
Ketika serial silat diminati, ramai-ramai para broadcaster memborong dan menayangkan serial silat. Saat telenovela jadi primadona, maka berbondong-bondong semua stasiun menayangkan telenovela. Bakan, ketika movie India memiliki rating tinggi, nyaris seluruh stasiun – termasuk RCTI dan SCTV yang mengharamkan irama dangdut – menggeber program Sungai Gangga ini, Harapannya, pemirsa dari berbagai segmen bisa diraih.
MESKI kegelisahan demi kegelisahan makin menjadi-jadi menjelang akhir tahun ini, bukan berarti kita bisa seenaknya mendalih sebagai kehadiran stasiun Indosiar. Warna yang diberikan memang sangat kontras, sehingga secara nyata kita menemukan pengaruh akibat bauran warna dari stasiun terbungsu ini.
Langkah paling bijaksana adalah menanyakan kembali diri kita menghadapi persaingan ketat ini. Dengan lima stasiun televisi – yang sama-sama memproklamirkan saluran hiburan dan informasi dengan “H” yang diperbesar – terasa sekali, bagaimana perebutan pemirsa potensial terjadi. Karena ini menyangkut kue iklan, yang nyata mesti dibagi-bagi juga dengan media massa lainnya. Adakah gonjang-ganjing di "dapur" stasiun televisi bakal berakibat, adanya sebuah stasiun yang terlempar dari persaingan alias gulung tikar? Wallahualam. [TABLOID CITRA No. 302/VI/8 – 14 Januari 1996]