TV SWASTA TAK MAU BERBAGI

Harapan bahwa sistem televisi berjaringan bisa dijalankan nampaknya akan kembali kandas. Kewajiban ini sebenarnya sudah dinyatakan sejak kelahiran UU Penyiaran 2002. Akhir tahun lalu, Menteri Kominfo menyatakan sistem itu harus segera "dimulai". Kini kita tahu, para pemilik dan pengelola stasiun televisi swasta nasional di Jakarta tetap akan membangkang. Bukan karena apa-apa. Alasannya sederhana: mereka sudah kepalang kaya dan tak ingin kekayaan itu dibagi.

Saat ini kita kembali menyaksikan bagaimana para pemilik dan pengelola stasiun televisi swasta nasional di Jakarta memang tak memiliki niat untuk berbagi keuntungan ekonomi yang mereka peroleh selama ini ke wilayah-wilayah luar Jakarta. Secara jelas mereka mempermainkan UU Penyiaran 2002 dengan kembali menolak menjalankan sistem siaran berjaringan. Mereka bahkan berusaha menipu publik dengan menunjukkan bahwa mereka seolah-olah menjalankan kewajiban itu. Padahal yang mereka lakukan sekadar permainan membangun imej semata.

Stasiun nasional di Jakarta memang rakus. Pemasukan iklan stasiun-stasiun televisi kita terus menaik triliunan rupiah. Tahun lalu pemasukan iklan mereka mencapai hampir 30 triliun rupiah. Hebatnya, setelah sekian kayanya mereka, tak ada sedikit pun kesadaran mereka untuk berbagi.

Keadilan ekonomi dalam sistem penyiaran Indonesia hanya bisa tercapai bila kita menjalankan amanat UU penyiaran 2002. UU itu menyatakan Indonesia harus mengikuti pola Amerika Serikat: jalankan sistem penyiaran berjaringan. Contoh terbaik yang sudah ada adalah TVRI. Di setiap kota ada TVRI-TVRI yang membawa siaran nasional dari induk jaringan, tapi juga menyiarkan program lokal.

Dalam sistem penyiaran berjaringan ini, uang tak akan hanya terpusat di Jakarta. Setiap stasiun televisi swasta nasional harus memiliki jaringan stasiun lokal di setiap daerah. Implkasinya, uang iklan yang selama ini hanya terserap di Jakarta, akan menyebar juga ke daerah-daerah. Setiap stasiun televisi afiliasi jaringan akan memperoleh bagian dari setiap iklan yang dipasang di jaringan tersebut.

Bila itu dijalankan, setiap stasiun televisi anggota jaringan bisa tumbuh sebagai unit usaha yang atraktif. Pada gilirannya, stasiun televisi swasta tidak akan tumbuh hanya di Jakarta tapi di seluruh Indonesia. Lapangan pekerjaan terbuka, rumah produksi terangsang, periklanan lokal terangsang.

Tapi para pemilik dan pengelola stasiun televisi di Jakarta terlalu kemaruk rupanya. Sejak UU Penyiaran 2002 diluncurkan, mereka mati-matian menyabotnya. Mula-mula dengan upaya Judicial review. Namun gagal. Syukurlah bagi mereka kemudian ada Menteri Kominfo Sofyan Jalil yang sangat penurut dengan kemauan industri. Dengan sadar, ia mengembangkan amanat kewajiban sistem berjaringan tersebut. Akibatnya selama tujuh tahun, tidak pernah ada upaya untuk menjalakan UU Komisi Penyiaran Indonesia pun akomodatif.

Kini, Menkominfo Tifatul sembiring kembali menyatakan sistem penyiaran berjaringan harus dimulai. Maka industry pun berpura-pura menjalankan kewajiban itu. Stasiun-stasiun televisi swasta nasional itu sekarang memang membangun badan hukum di setiap daerah. Tapi yang mereka lakukan sebenarnya mengembangkan kantor cabang dan rumah produksi semata. Jadi, apa yang dilakukan di daerah adalah sekadar membuat program lokal, mengemasnya, mengirimkannya ke Jakarta, dan kemudian Jakarta akan menyiarkannya kembali ke daerah-daerah tersebut.

Sebagaimana diberitakan situs kpi.go.id (22/1) yang sekarang mereka konsentrasikan adalah membuat program lokal. TPI misalnya menyatakan siap menyajikan 1 jam per hari muatan lokal tahun ini. Tahun depan itu akan dinaikkan menjadi 2 jam per hari, kata narasumber TPI itu. Saya duga stasiun-stasiun lain pun begitu.

Tapi narasumber Depkominfo yang saya hubungi menjelaskan bahwa muatan lokal itu sebenarnya tetap dikirim dari Jakarta. Tak ada itu yang namanya stasiun televisi lokal yang beroperasi sebagai badan usaha di daerah. Para pemilik modal dan pengelola stasiun televisi lokal jelas-jelas menolak mendirikan stasiun televise berjaringan. Yang terpenting, uang iklan tetap akan terpusat di Jakarta. Stasiun lokal hanya akan memperoleh dana sekadarnya untuk memproduksi siaran satu jam sehari. Itupun bukan untuk setiap kota atau provinsi. TPI misalnya membagi tujuh zona: tiga zona Jawa, Sumatra, Bali dan sekitarnya, Kalimantan dan sekitarnya, serta Sulawesi dan Papua.

Kalau ini dijalankan, mereka melakukan korupsi politik. Mereka mempermainkan begitu saja UU yang jelas mengamanatkan demokratisasi dan penegakan keadilan penyiaran.

Ironisnya, ini dilakukan media massa yang selama ini seharusnya berperan sebagai the fourth estate of democracy, sebagai watchdog of the government dan segenap peran ideal lainnya. Nyatanya, media hanya galak dengan pihak lain. Mereka sendiri korup.[Ade Armando]