
Gelombang radio adalah satu bentuk dari radiasi elektromagnetik, dan terbentuk ketika objek bermuatan listrik dimodulasi (dinaikkan frekuensinya) pada frekuensi yang terdapat dalam frekuensi gelombang radio (RF) dalam suatu spektrum elektromagnetik, dan radiasi elektromagnetiknya bergerak dengan cara osilasi elektrik maupun magnetik.
Gelombang elektromagnetik lainnya, yang memiliki frekuensi di atas gelombang radio meliputi sinar gamma, sinar-X, inframerah, ultraviolet, dan cahaya terlihat.
Ketika gelombang radio dipancarkan melalui kabel, osilasi dari medan listrik dan magnetik tersebut dinyatakan dalam bentuk arus bolak-balik dan voltase di dalam kabel. Hal ini kemudian dapat diubah menjadi signal audio atau lainnya yang membawa informasi.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menyebutkan bahwa frekuensi radio merupakan gelombang elektromagnetik yang dipergunakan untuk penyiaran dan merambat di udara serta ruang angkasa tanpa sarana penghantar buatan, merupakan ranah publik dan sumber daya alam terbatas. Seperti spektrum elektromagnetik yang lain, gelombang radio merambat dengan kecepatan 300.000 kilometer per detik. Perlu diperhatikan bahwa gelombang radio berbeda dengan gelombang audio.
Gelombang radio merambat pada frekuensi 100.000 Hz sampai 100.000.000.000 Hz, sementara gelombang audio merambat pada frekuensi 20 Hz sampai 20.000 Hz. Pada siaran radio, gelombang audio tidak ditransmisikan langsung melainkan ditumpangkan pada gelombang radio yang akan merambat melalui ruang angkasa. Ada dua metode transmisi gelombang audio, yaitu melalui modulasi amplitudo (AM) dan modulasi frekuensi (FM).
Meskipun kata “radio” digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan alat penerima gelombang suara, namun transmisi gelombangnya dipakai sebagai dasar gelombang pada televisi, radio, radar, dan telepon genggam pada umumnya.
Dasar teori dari perambatan gelombang elektromagnetik pertama kali dijelaskan pada 1873 oleh James Clerk Maxwell dalam papernya di Royal Society mengenai teori dinamika medan elektromagnetik (a dynamical theory of the electromagnetic field), berdasarkan hasil kerja penelitiannya antara 1861 dan 1865.
Pada 1878 David E. Hughes adalah orang pertama yang mengirimkan dan menerima gelombang radio ketika dia menemukan bahwa keseimbangan induksinya menyebabkan gangguan ke telepon buatannya. Dia mendemonstrasikan penemuannya kepada Royal Society pada 1880 tapi hanya dibilang itu cuma merupakan induksi.
Adalah Heinrich Rudolf Hertz yang, antara 1886 dan 1888, pertama kali membuktikan teori Maxwell melalui eksperimen, memperagakan bahwa radiasi radio memiliki seluruh properti gelombang (sekarang disebut gelombang Hertzian), dan menemukan bahwa persamaan elektromagnetik dapat diformulasikan ke persamaan turunan partial disebut persamaan gelombang.
Banyak penggunaan awal radio adalah maritim, untuk mengirimkan pesan telegraf menggunakan kode Morse antara kapal dan darat. Salah satu pengguna awal termasuk Angkatan Laut Jepang memata-matai armada Rusia pada saat Perang Tsushima di 1901. Salah satu penggunaan yang paling dikenang adalah pada saat tenggelamnya RMS Titanic pada 1912, termasuk komunikasi antara operator di kapal yang tenggelam dan kapal terdekat, dan komunikasi ke stasiun darat mendaftar yang terselamatkan.
Radio digunakan untuk menyalurkan perintah dan komunikasi antara Angkatan Darat dan Angkatan Laut di kedua pihak pada Perang Dunia II; Jerman menggunakan komunikasi radio untuk pesan diplomatik ketika kabel bawah lautnya dipotong oleh Britania. Amerika Serikat menyampaikan Empat Belas Pokok Presiden Woodrow Wilson kepada Jerman melalui radio ketika perang.
Siaran mulai dapat dilakukan pada 1920-an, dengan populernya pesawat radio, terutama di Eropa dan Amerika Serikat. Selain siaran, siaran titik-ke-titik, termasuk telepon dan siaran ulang program radio, menjadi populer pada 1920-an dan 1930-an.
Penggunaan radio dalam masa sebelum perang adalah pengembangan pendeteksian dan pelokasian pesawat dan kapal dengan penggunaan radar. Sekarang ini, radio banyak bentuknya, termasuk jaringan tanpa kabel, komunikasi bergerak di segala jenis, dan juga penyiaran radio. Baca sejarah radio untuk informasi lebih lanjut.
Sebelum televisi terkenal, siaran radio komersial termasuk drama, komedi, beragam show, dan banyak hiburan lainnya; tidak hanya berita dan musik saja.
Sejarah Radio di Tanah Air
Melalui radio masing-masing banyak warga Jakarta memantau perkembangan situasi kota yang sedang dilanda kerusuhan. Pentingnya peran radio, mengingatkan kita pada kondisi di tahun 1920-an, ketika tiap malam jutaan keluarga di seluruh bagian dunia yang punya radio, berkutat di sekitar pesawat itu untuk mendengarkan berbagai hiburan dan program.
Tak melulu sebagai penyedia hiburan, sesungguhnya radio punya peran penting dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, menyelamatkan korban dalam kecelakaan di laut, seperti tindakan operasi penyelamatan penumpang Titanic yang tenggelam pada 1912.
Dan tahukah Anda bahwa rekaman pembacaan naskah proklamasi oleh Bung Karno, yang hingga kini bisa kita dengar di Monas dan juga banyak beredar di internet itu, tidak direkam pada tanggal 17 Agustus 1945? Tahukah anda bahwa kabar tentang proklamasi yang pertama kali disiarkan melalui radio ke seluruh dunia tidak keluar dari mulut Bung Karno langsung?
Ya, inilah kepingan sejarah kemerdekaan Indonesia yang melibatkan satu nama yang sangat penting dalam sejarah dunia radio siaran di Indonesia. Beliau adalah almarhum Muhammad Jusuf Ronodipuro, salah seorang pendiri Radio Republik Indonesia (RRI), yang pertama mengeluarkan slogan, “Sekali di Udara Tetap di Udara!”
Jumat, 17 Agustus 1945, sekitar jam 17:30 WIB. Saat itu Pak Jusuf sedang berada di kantornya, Hoso Kyoku (Radio Militer Jepang di Jakarta). Tiba-tiba muncullah Syahruddin, seorang pewarta dari kantor berita Jepang Domei dengan tergesa-gesa -- pak Jusuf sempat meralat kebenaran berita bahwa yang datang itu adalah sejarawan Des Alwi. Syahruddin yang masuk ke kantor Hoso Kyoku dengan melompati pagar itu menyerahkan selembar kertas dari Adam Malik yang isinya “Harap berita terlampir disiarkan”. Berita yang dimaksud adalah Naskah Proklamasi yang telah dibacakan Bung Karno jam 10 pagi.
Masalahnya, semua studio radio Hoso Kyoku sudah di jaga ketat sejak beberapa hari sebelumnya, tepatnya sehari setelah Hiroshima dan Nagasaki di bom oleh Amerika. Jusuf kemudian berunding dengan rekan-rekannya, diantaranya Bachtiar Lubis (kakak dari Sastrawan dan tokoh pers Indonesia Mochtar Lubis) dan Joe Saragih, seorang teknisi radio.
Beruntung, studio siaran luar negeri tidak dijaga. Saat itu juga dengan bantuan Joe, kabel di studio siaran dalam negeri di lepas dan disambungkan ke studio siaran luar negeri. Tepat pukul 19:00 WIB selama kurang lebh 15 menit Jusuf pun membacakan kabar tentang proklamasi di udara, sementara di studio siaran dalam negeri tetap berlangsung siaran seperti biasa untuk mengecoh perhatian tentang Jepang.
Belakangan tentara Jepang mengetahui akal bulus Jusuf dan kawan-kawannya. Mereka pun sempat disiksa. Beruntung mereka selamat. Malam itu pun radio Hoso Kyoku resmi dinyatakan bubar, tetapi dunia saat itu juga sudah mengetahui kabar tentang proklamasi langsung dari mulut Jusuf Ronodipuro. Sayang rekaman suara ini tidak diketahui lagi keberadaannya, atau jangan-jangan sudah tidak ada mengingat malam itu juga radio tersebut ditutup oleh Jepang.
Gara-gara luka-luka dipukuli tentara Jepang, Jusuf Ronodipuro berobat ke seorang dokter bernama Abdurrahman Saleh. Mengetahui apa yang baru dilakukan oleh Jusuf, Abdurrahman Saleh kemudian menyarankan agar Jusuf membuat pemancar radio sebagai sarana komunikasi pemerintahan Indonesia yang baru dengan rakyat.
Kabarnya diperlukan waktu tiga hari bagi Jusuf dan kawan-kawannya untuk merakit pemancar itu. Laboratorium milik dokter Abdurrahman Saleh di belakang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, RSCM, pun kemudian dipakai sebagai ruang siaran. Maka berdirilah radio Voice of Indonesia yang siaran 2 jam sehari, satu jam dalam bahasa Indonesia, satu jam dalam Bahasa Inggris.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa untuk masuk ke studio ‘radio gelap’ tersebut harus melewati kamar mayat RSCM yang baunya busuk, sehingga setiap habis siaran bajunya pun tertular bau busuk itu dan harus direndam selama 2 hari untuk menghilangkan baunya.
Tetapi dari ruangan berbau busuk mayat itulah, Voice of Indonesia mengudara dan menjadi media utama untuk mengabarkan perjuangan Indonesia kepada rakyat dan juga ke masyarakat internasional. Bung Karno sendiri pertama kali berpidato di radio tersebut pada tanggal 25 Agustus 1945 sementara 4 hari kemudian Bung Hatta juga mengudara dari studio yang sama.
Voice of Indonesia kemudian menjadi cikal bakal Radio Republik Indonesia. Abdurrahman Saleh adalah direktur RRI yang pertama, dan Jusuf Ronodipuro kemudian dikenal sebagai orang pertama yang memperkenalkan slogan, “Sekali Di Udara, Tetap Di Udara!”
“Proklamasi itu hanya satu kali!” begitu kata Ir. Sukarno dengan nada marah kepada Jusuf Ronodipuro pada suatu hari di awal tahun 1951. Dalam pengakuan kepada salah seorang kerabat dekatnya Louisa Tuhatu, Jusuf Ronodipuro dengan rendah hati mengatakan, kebetulan sekali saat RRI baru saja membeli peralatan baru dan mendadak pula muncul ide di benaknya untuk merekam suara Bung Karno membacakan proklamasi.
Meskipun sempat ‘ciut’ juga dimarahi oleh Sang Pemimpin Besar Revolusi, tetapi Jusuf tetap bersikukuh. “Betul, Bung. Tetapi saat itu rakyat tidak mendengar suara Bung,” bujuknya. Bung Karno pun bersedia merekam suaranya tengah membacakan naskah proklamasi. Ini terjadi hampir 6 tahun setelah proklamasi yang asli dibacakan.
Nah, kebenaran cerita ini sempat menjadi kontroversi tersendiri. Bahkan -bisa ditebak- nama seorang Roy Suryo pun sempat terbawa-bawa disini. Tapi sudahlah. Itu urusan dia hehe.
Toh, ada beberapa bukti yang bisa memperkuat kebenaran cerita ini. Kalau anda dengar pembacaan naskah proklamasi, maka akan terdengar kualitas rekaman yang relatif bersih, tidak ada suara-suara latar apapun. Senyap, seolah direkam di studio. Yang ada hanya suara Bung Karno. Padahal diasumsikan saat itu suasana saat proklamasi dibacakan sangatlah ramai. Nada suara Bung Karno pun tidak berapi-api seperti biasanya saat ia berpidato, bahkan ada kesan santai.
Bukti lain diceritakan oleh Louisa Tuhatu, orang terdekat Jusuf Ronodipuro di blognya (silahkan temui tautannya di akhir artikel ini). Anda mungkin tahu bahwa dalam naskah asli proklamasi yang hingga kini masih tersimpan rapi, tercetak tanggal “ hari 17 boelan 8, tahoen 05 “, sesuai penanggalan Jepang yakni tahun 2605 yang sama dengan tahun 1945. Tetapi dalam pembacaan saat rekaman, Bung Karno menyebutkan tahun 1945 dan bukannya tahun 05 atau 2605.[]