Apa pendapat Anda tentang pemakaian bahasa Indonesia di media massa? Mungkin ada yang menjawab, 'Bahasa Indonesia? Hem, rasa-rasanya baik-baik saja.'
Yang lain mengatakan, 'Dibandingkan dengan dulu, sekarang sudah jauh lebih baik.'
Yang lainnya lagi,
'Amburadul.
'Memprihatinkan.'
'Tingkat memprihatinkannya sudah mencapai 1.000%.'
Yang mengatakan 'amburadul' itu Prof. Dr. Slamet Iman Santoso, guru besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. 'Setiap hari,' ujarnya, 'kita disuguhi pemakaian bahasa yang amburadul. Itu menunjukkan kesemerawutan otak penuturnya. (Media Indonesia, 17 April 1997).
Amburadul itu kacau-balau.
Yang menyatakan 'memprihatinkan' adalah Kepala Pusat Bahasa, Dendy Sugono. Ia mengemukakan hal itu dalam berbagai kesempatan. Salah satu contoh yang sering ia kemukakan ialah penggunaan bahasa 'gado-gado', yaitu pencampur-adukan bahasa Indonesia dengan bahasa asing, terutama Inggris. 'Ini menunjukkan tidak ada kepercayaan jati diri bangsa,' keluhnya.
Sastrawan Ajip Rosidi menilai keprihatinan tersebut telah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan. 'Sudah seribu persen,' ucapnya. Hal ini terlihat jelas pada pemakaian bahasa di media massa, baik cetak maupun elektronik, katanya pada seminar bahasa yang diselenggarakan oleh Akademi Jakarta 26 November 2005. Namun, dia masih optimistis karena, '... tingkat kesadaran teman-teman wartawan media cetak cukup tinggi.'
Bertolak dari keprihatinan tersebut kini pemerintah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Bahasa. Direncanakan RUU tersebut dapat disahkan pada tahun 2007.
Bahasa di media massa selalu saja menjadi bahan pergunjingan orang. Lihat saja dalam buku 1001 Kesalahan Berbahasa yang disusun oleh Zaenal Arifin dan Farid Hadi. Sebagian besar contoh kesalahan tersebut diambil dari media massa. Demikian juga pada banyak buku lainnya.
Mengapa yang menjadi 'sasaran' kesalahan itu selalu bahasa media massa? Mungkin karena bahasa media massa itu terbuka. Setiap saat orang dapat membaca atau mendengarnya. Boleh jadi juga karena mereka menganggap bahwa bahasa jurnalistik merupakan cermin masyarakat kita berbahasa.
Anda mungkin menyela, 'Sebentar dulu! Dari tadi yang disebut-sebut itu bahasa media massa atau bahasa jurnalistik. Apa itu bahasa jurnalistik? Bahasa jurnalistik itu tidak ada. Bahasa di koran, majalah, televisi, radio, dll. tidak ada yang spesifik. Semuanya sama dengan bahasa di buku, pidato, atau lainnya. Lagi pula, bukankah bahasa Indonesia itu satu?'
Baiklah. Pendapat Anda itu benar. Akan tetapi, apakah benar-benar begitu? Mari kita ingat-ingat kejadian tadi pagi. Menjelang sarapan Anda membaca koran. Sambil menghirup kopi, Anda menyeruput pula beberapa berita. Apa yang kita baca itu langsung dapat dimengerti, tanpa harus berpikir berat. Mengapa? Ini karena berita tersebut ditulis dengan bahasa jurnalistik. Coba, apa jadinya bila koran menggunakan bahasa resmi, seperti bahasa pidato pertanggungjawaban presiden atau bahasa perundang-undangan.
Bahasa perundang-undangan itu, misalnya, begini: Jika suatu tindak pidana mengenai narkotika dilakukan oleh atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu yayasan maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib yang dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu maupun terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana narkotika itu atau yang bertindak sebagai pemimpin atau penanggung jawab dalam perbuatan atau kelalaian itu, ataupun terhadap kedua-duanya.
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika
Koran tadi pagi tentu tidak seperti itu bahasanya. Harian Kompas, Jakarta, pernah menyajikan berita dengan bahasa seperti ini:
London: Dua murid pembolos mengaku sangat menyesal telah mengakibatkan ibunya harus masuk penjara. 'Saya ditelepon saudara perempuan saya yang mengatakan bahwa ibu dipenjara karena kami tidak sekolah dan saya langsung menangis,' kata Emma kepada radio BBC, Senin. 'Saya merasa itu kesalahan saya karena saya sering membolos,' lanjut pelajar berusia 15 tahun itu.
Berdasarkan hukum baru di Inggris, orang tua yang tidak bisa menangani anak sehingga anak membolos, diancam hukuman penjara.
Patricia Amos, ibu dari dua siswa pembolos, Emma dan Jackie (13), adalah orang tua pertama yang menerima hukuman itu. Wanita tersebut semula dihukum 60 hari, tetapi pengadilan banding kemudian mengurangi hukumannya menjadi 28 hari.
Kedua anak Amos menyatakan bahwa hukuman terhadap ibunya benar-benar membuatnya kapok, sehingga keduanya berjanji untuk kembali ke sekolah.
Hukum baru tersebut dimaksudkan untuk menekan angka kenakalan remaja di Inggris. Perdana Menteri Inggris percaya ada korelasi antara kenakalan remaja dengan angka bolos sekolah yang mencapai 50.000 murid tiap hari.
Alasan membolos macam-macam. Emma, misalnya, mengatakan, 'Saya mulai membolos sejak nenek meninggal. Ini merupakan peristiwa sangat menyedihkan bagi kami.'
Emma kemudian membolos seminggu. Ketika masuk sekolah, katanya, dia diolok-olok. Sejak itu ia sering membolos.
Nyata benar bedanya kedua bahasa itu, bukan?
Contoh lain: ketika tadi Anda sarapan tiba-tiba datang seorang anak kecil. Sebut saja anak tetangga itu Cecep. Anda mungkin mengatakan begini kepadanya, 'Eh, Cecep! Udah makan, Cep? Makan, yu, dengan tante! Pake telor. Mau?'
Jika yang bertamu itu bapaknya, tentu lain pula cara Anda menawarinya makan. Bahasa untuk tamu yang teman akrab berbeda pula dengan bahasa untuk tamu yang baru dikenal, atau tamu orang gedean, yang lebih tua, dan seterusnya. Dengan ramah Anda akan mengatakan, 'Silakan, lo, Pak! Tapi lauknya hanya telur.' Dan, Anda tidak mungkin mengatakan kepada mertua begini, 'Makan, yu, dengan tante! Pake telor. Mau?'
Kita juga membedakan antara bahasa lisan dan bahasa tulisan. Bahasa tulisan pun bisa dibedakan lagi menjadi bahasa baku dan nonbaku, formal dan nonformal. Jadi, bahasa itu tidak satu. Selalu ada variasinya.
Apakah bahasa jurnalistik termasuk dalam bahasa baku, bahasa formal, atau apa? Untuk menjawab hal itu kita harus melihat bahasa dari segi penuturnya. Dalam hal ini bahasa dapat kita bedakan menjadi: (1) dialek, (2) sosiolek, dan (3) laras.
Dialek adalah ucapan-ucapan khas suatu daerah. Perhatikan bagaimana tiap suku atau daerah di negeri kita berbahasa Indonesia. Bahasa mereka berlain-lainan, entah karena perbendaharaan kata atau entah karena lagu bahasanya. Dialek Ambon, Batak, Sunda, Jawa, Bali, dll. berbeda satu dan lainnya. Berbagai daerah mempunyai istilah-istilah khas setempat. Pada dialek Jakarta, misalnya, ada kata-kata dong, deh, doang, beneran, ngedumel, banyak bacot. Dialek di daerah lain, lain lagi.
Sosiolek atau sosiolinguistik adalah bahasa yang digunakan di lingkungan sosial tertentu. Dengarlah obrolan di antara remaja, antarsesama tukang becak, nelayan, lingkungan kaum intelek, dan lain-lain. Bahasa mereka berbeda antara satu dan lainnya karena kedudukan sosial dan tingkat pendidikan masing-masing yang berlainan.
Para remaja mempunyai ragam bahasa tersendiri. Mereka lazim menggunakan istilah 'gue' dan 'elu'. Bukan untuk merendahkan, melainkan suatu cermin keakraban. Tidak dianggap santun, malah menggelikan, bila ada di antara mereka yang bertanya kepada temannya, 'Duhai, hendak ke manakah Anda gerangan sepagi ini?'
Istilah-istilah khas mereka, di antaranya: nyokap, bokap, kece, tajir, cembokur. Mereka menggunakan singkatan 'PD' untuk percaya diri, 'pdkt.' untuk pendekatan, ABG untuk anak baru gede. Dari waktu ke waktu mereka juga mempunyai pemeo, seperti, 'So what gitu, lo?', 'Kesian, deh, lu!' Sebelum itu ada celotehan, 'Enggaklah yauw.'
Laras atau register atau kalangan adalah bahasa di kalangan profesi. Misalnya, bahasa hukum, politik, ekonomi, militer, dan pers. Masing-masing mempunyai cara dan ciri tersendiri berbahasa karena yang dituju, tujuan, dan medianya berbeda-beda.
Bahasa hukum, umpamanya, dibuat untuk mengatur sesuatu. Tujuan utamanya menegakkan keadilan dan kebenaran. Dalam contoh tadi, demi keadilan, maka disebutkanlah secara rinci badan hukum, perserikatan orang, perseroan, dan yayasan. Itulah sebabnya dalam bahasa hukum acapkali kalimatnya panjang-panjang (dalam satu kalimat saja pada contoh tersebut terdapat 73 kata). Misal lain, di bidang hukum ada istilah tersangka, tertuduh, terdakwa, tergugat, penggugat, terhukum, dan terpidana. Semua itu dibedakan karena status masing-masing pesakitan berlainan.
Di bidang militer cirinya lain lagi. Militer itu harus tegas, lugas, disiplin, dan berahasia. Hal itu berpengaruh pada bahasanya, di antaranya di kemiliteran banyak kita jumpai singkatan dan akronim. Misalnya, TNI, ABRI, GPK (gerakan pengacau keamanan), secaba (sekolah calon bintara), danramil (komandan rayon militer), kopatdara (komando pasukan tempur udara), parako (para komando), ranpur (kendaraan tempur).
Di bidang ekonomi ada istilah khusus, seperti saham terizin (authorized shares), pasar marak (boom market), arus kas (cash flow), polis bencana (catastrophe policy), pialang tandingan (contra broker), anjak piutang (factoring cost), pencagaran atau pelindungan nilai (hedging), sewa guna usaha (leasing), pemasaran (marketing).
Persoalannya sekarang, apakah media massa mempunyai bahasa tersendiri?
Bahasa jurnalistik (bahasa pers atau bahasa koran atau bahasa media massa) hanyalah salah satu variasi bahasa. Variasi itu suatu perubahan keadaan yang tidak mengubah sifat aslinya. Ikan mas koki, misalnya, memiliki banyak variasi. Warnanya bermacam-macam. Bentuknya berlain-lainan. Ada yang pipih, ramping, yang gembrot, yang siripnya panjang berumbai-umbai, yang berjambul, dan yang matanya gede melotot. Berbeda-beda, tetapi tetap ikan mas jua. Meski dibudidayakan telah ratusan tahun, tidak ada ikan mas yang menyeleweng menjadi lele, gurame, atau hiu.
Variasi bahasa pun seperti itu. Bahasa jurnalistik, seperti halnya ikan mas koki, adalah salah satu variasi bahasa yang tetap berinduk pada bahasa Indonesia. Tetap terikat pada sifat, adat, dan kaidah bahasa baku, baik tata bahasanya, istilah, maupun ejaan bahasa Indonesia.
Setidaknya ada tiga hal yang membuat bahasa pers membentuk variasi tersendiri, yaitu karena (1) fungsi media massa, (2) karakteristik cara kerja pers, dan (3) keadaan media.
1. Fungsi media massa. Media massa diterbitkan dengan fungsi:
menyampaikan informasi,
membentuk opini publik,
agen perubahan,
menyebarkan pengetahuan,
menyalurkan aspirasi,
memberikan hiburan, dan
menjalankan kontrol sosial.
Informasi 'lazimnya' dibungkus dalam bentuk berita (news). Bahasanya lugas, ringkas, sederhana, mudah dicerna, kadang berderap-derap seperti irama lagu mars.
Pengetahuan, wawasan, atau penjelasan 'umumnya' dikemas dalam wadah feature. Bahasanya lebih luwes, imajinatif, menggugah perasaan layaknya orang mendongeng.
Aspirasi dan kontrol sosial 'biasanya' disalurkan lewat kolom atau opini. Bahasanya cenderung formal, namun tetap enak dibaca, tidak dingin dan kaku seperti batang pisang.
Saya menggunakan kata-kata 'lazimnya', 'umumnya', dan 'biasanya' karena perbedaan yang satu dengan yang lain tidak kontras hitam putih. Informasi, misalnya, tidak mutlak milik berita sebab bisa saja ada pada feature atau opini. Demikian juga penggunaan bahasanya. Bahasa berita - news feature - feature - opini sering serupa, hal itu bergantung pada materi yang disajikan, gaya penulis, dan corak medianya.
Contoh bahasa berita:
Sekolah Roboh
Masyarakat Berpartisipasi
Kebumen (Ayom)
Bupati Kebumen, Dra. Sri Rustriningsih, mencanangkan 'Gerakan Peduli Sekolah Dasar' kemarin. Gerakan tersebut untuk mendorong masyarakat berswadaya memperbaiki SD yang rusak. Pencanangan dilakukan di SDN Pesuningan, Kebumen. Belum lama ini SD tersebut roboh. Delapan murid luka tertimpa atap. Seorang di antaranya pingsan selama � bulan.
Contoh bahasa news feature:
Murid SD Pingsan 1/2 Bulan
Subur, murid SDN Pesuningan, Kebumen, pingsan selama 1/2 bulan tertimpa atap bangunan sekolah. Ia dirawat di rumah sakit Bethesda, Yogyakarta. Sampai kemarin dia masih pingsan. Kejadian ini mendorong Bupati Kebumen, Dra. Sri Rustriningsih, mencanangkan 'Gerakan Peduli Sekolah Dasar' untuk memacu masyarakat agar berswadaya memperbaiki SD yang rusak di lingkungannya.
Contoh bahasa feature:
Subur Tak Sempat Menjerit
Tiba-tiba terdengar bunyi 'krak' keras sekali. Semua murid menengadah. Anak-anak kelas IV SDN Pesuningan, Kebumen, itu bergegas mengemas buku mereka. Lalu, menghambur berlarian. Namun, Subur tersandung kaki meja. Ia jatuh tertelengkup. Sebuah balok menimpa kepalanya. Genting dan puing menghujaninya. Ia tak sempat menjerit. Anak 11 tahun itu pingsan selama � bulan. Tadi pagi ia siuman. Sewaktu ibunya menjenguk, ia menatapnya lama-lama dan bertanya, 'Ibu ini siapa?'
Contoh bahasa opini:
Apakah arti kemenangan? Setelah Kurawa dikalahkan, medan perang Kuru tinggal lapangan penuh bangkai. Bau busuk terbentang. Rasa cemar terapung ke kaki langit. Ribuan anjing ajak melolong, mengaum, mengais. Selebihnya cuma erang sekarat para prajurit, di antara sisa kereta dan senjata yang patah.
Warna di sana hanya darah. Anyir. Tak akan ada lagi perbuatan kepahlawanan.
Goenawan Mohamad
'Catatan Pinggir' majalah Tempo
Contoh lain bahasa opini:
Kearifan tua bilang, 'Bukan hidup buat makan, melainkan makan buat hidup.' Baiklah. Soalnya, makan apa? Buat orang Tionghoa gampang saja. Perutnya pragmatik. Simaklah pepatahnya, 'Segala rupa yang berkaki bisa digoreng, kecuali kursi. Segala rupa yang terbang di langit bisa dipanggang, kecuali layangan.' Mahatma Gandhi lain. Dilarangnya makan buah-buahan, apabila mau betul-betul amalkan 'karma yogi', supaya peroleh jiwa sempurna, bebas nafsu, desirelessness. Ini belum seberapa. Burton di dalam Anatomy of Melancholy lebih gawat dari itu. Di samping buah-buahan, jangan pula jamah sayur-mayur, khusus kol, karena �bikin mimpi buruk dan otak dungu.�
H. Mahbub Djunaidi
Majalah Tempo, 18 Agustus 1973
2. Karakteristik cara kerja pers. Berikut adalah ciri-ciri pekerjaan jurnalis yang berpengaruh pada bahasanya:
Pekerjaan wartawan dan redaksi media massa selalu berpacu dengan waktu. Batas waktu (dead-line atau tenggat) merupakan hal yang mutlak harus dipatuhi. Sastrawan boleh santai bekerja, sedangkan wartawan tak dapat berlama-lama karena harus selesai menulis tepat pada waktunya. Oleh karena itu, keduanya beda berbahasa.
Panjang tulisan dibatasi karena keterbatasan halaman yang tersedia. Informasi yang sebanyak-banyaknya ditulis seringkas-ringkasnya. Dengan demikian, bahasanya pun harus ekonomis;
Jumlah media massa di Indonesia dewasa ini berbilang ribuan. Oleh karena itu, persaingan di antara media massa semakin meruncing, sehingga bahasa yang digunakan, tulisan yang disajikan, dan tata muka media harus lebih menarik ketimbang saingannya;
Tulisan pada media massa sebagian besar berbentuk berita dan feature. Bahan bakunya fakta, sehingga jurnalis tidak dapat membuat tulisan dengan bahasa yang muluk-muluk seperti pada cerita rekaan yang berbentuk penulisan fiksi (cerpen, novel, puisi) yang kadang susah dimamah.
Mengingat fungsi media dan karakteristik kerja tersebut, maka pemakaian bahasa di media massa dianjurkan agar:
jelas
lugas
logis
menarik
baik
benar
singkat padat
sederhana
Jelas, lugas, logis, singkat padat, sederhana. Suatu penelitian menyebutkan bahwa seseorang membaca surat kabar tidak pernah sampai lebih dari 30 menit. Tidak lama. Dalam waktu sesingkat itu pembaca harus dapat menangkap maksud yang ditulis di koran dan media massa lainnya. Media cetak halamannya terbatas dan media elektronik waktunya sempit. Oleh karena itu, penulisan di media massa harus jelas, lugas, logis, singkat padat, sederhana atau komunikatif, efektif, efisien. Untuk itu kita dianjurkan menggunakan kalimat yang mudah ditangkap:
Kalimat tidak berkepanjangan. Pembaca akan susah menangkap maksud kita bila kita menggunakan kalimat yang panjang. Sebaiknya memakai kalimat tunggal atau kalimat majemuk dengan satu anak kalimat.
Pilihlah kata yang tepat. Misalnya, kata 'sekitar' hanya digunakan untuk menunjukkan tempat dan waktu (sekitar pukul 10, sekitar Jakarta. Bukan sekitar 100 orang, melainkan sekira atau kurang lebih 100 orang). 'Senilai' digunakan untuk kata bantu bilangan uang. Umpamanya, senilai Rp40 miliar, bukan sebesar Rp40 miliar.
Hindarkan penulisan angka Romawi yang sulit dibaca.
Tulis kepanjangan akronim dan singkatan, terutama yang belum populer. Misalnya, Panglima Komando Pelaksana Operasi (Pangko-laops), gurdacil (guru di daerah terpencil).
Hindarkan pemakaian istilah yang belum populer, baik istilah Indonesia, asing, dan daerah. Misalnya, wigati, sangkil, mangkus, pindai.
Lihat makalah 'Menyunting Itu Membosankan, Tetapi Juga Menyenangkan' di halaman lain.
Baik dan benar. Tulisan yang baik adalah tulisan yang sesuai dengan jenis media dan segmen pembacanya. Tulisan yang benar adalah tulisan yang sesuai dengan kaidah bahasa (tata bahasa, istilah, dan ejaan baku).
Menarik. Tulisan yang menarik adalah tulisan yang bergaya dan berdaya getar. Ada banyak cara untuk membuat tulisan menjadi menarik, antara lain dengan menggayakan bahasa, misalnya:
Memilih kata yang lebih spesifik. Kata tertatih-tatih, terseok-seok, terhuyung-huyung, bergegas, terbirit-birit, dapat mengganti-kan kata berjalan yang lebih umum.
Perumpamaan. Perumpamaan �semudah membalik telapak tangan� sudah sering dipakai, sehingga membuatnya aus. Oleh karena itu, pergunakanlah perumpamaan yang lebih baru. Untuk menunjukkan kemudahan bisa kita ganti menjadi begini: semudah menghidupkan kompor gas, hanya dengan memutar tombol, klik, api pun menyala.
Perbandingan. Setiap hari Pemerintah Provinsi Jakarta mengangkut 50.000 ton sampah ke tempat pembuangan akhir. Saya berani bertaruh bahwa Anda tidak dapat membayangkan jumlah 50.000 ton itu. Jumlah tersebut dapat tergambar dalam pikiran pembaca, apabila kita perbandingkan. Umpamanya, dengan menyebutkan bahwa sampah tersebut harus diangkut dengan 10.000 truk.
Contoh lain: Agar pembaca dapat membayangkan betapa Kalimantan kaya akan pertambangan dapat kita katakan begini: Bentangkan peta Kalimantan. Beri tanda titik pada setiap daerah pertambangan. Lihat! Atlas Borneo kini penuh berbintik-bintik.
Lewat pers kita mengenal anjuran untuk menggunakan bahasa yang baik dan benar, namun pers sendiri tidak memedulikan bahasa yang baik dan benar. Pers sering menyimpang dari kaidah bahasa yang sudah ditetapkan oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Simak saja penulisan istilah yang berlain-lainan antara satu media massa dan media massa lain: ada yang menulis asas - azas, milyar - miliar, Nopember - November, rapi - rapih, risi - risih, cinderamata - cenderamata, dan lain-lain. Yang dianggap baku oleh Pusat Bahasa adalah asas, miliar, November, rapi, risi, cenderamata.
Untuk mengetahui sesuatu kata atau istilah itu baku, kita dapat mencarinya pada Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Hal lain yang sudah dibakukan adalah tata bahasa (lihat buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia), ejaan (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan), dan pembentukan istilah (Pedoman Pembentukan Istilah).
Media massa juga sering mengekor memakai istilah yang salah kaprah. Misalnya, ia membunuh dengan semena-mena. Seharusnya: ia membunuh dengan tidak semena-mena. Arti semena-mena justru kebalikan dari sewenang-wenang. Mena berasal dari bahasa Sanskerta, manas, yang berarti sebab. Tidak semena-mena = tanpa sebab = sewenang-wenang.
Salah kaprah lainnya, di antaranya: bola bundar (seharusnya bola bulat), mengejar ketertinggalan (seharusnya mengatasi ketertinggalan), dll.
Baru-baru ini seorang wartawan mewawancarai pengusaha tambang batu bara di Kalimantan Timur. Pengusaha tersebut menceritakan bahwa ia pernah melanjutkan kuliah di Amerika Serikat. Akan tetapi, tidak selesai karena ia teringat terus pada ibunya yang sudah tua. Lalu, ia pulang ke Indonesia. Setahun kemudian ibunya meninggal dunia. 'Saya memang menyesal tidak tamat kuliah, tetapi akan lebih menyesal lagi bila tidak mendampingi ibu saat sakit dan wafat,' kata pengusaha tersebut.
Bagaimana sang wartawan menuliskan hasil wawancaranya? Ini cuplikannya:
Perjalanannya kembali ke tanah air juga cukup unik. Ibunya yang sudah lanjut menarik naluri seorang anak untuk kembali ke Indonesia. Kebetulan setelah ditunggui setahun pada 1998 ibunya wafat.
Mari kita simak kalimat pertama: 'Perjalanannya kembali ke tanah air juga cukup unik.' Kata 'perjalanannya kembali' terasa mengambang. Mengapa ia tidak menggunakan kata 'kepulangannya' yang lebih singkat dan jelas. Kata 'juga cukup unik' lebih tidak jelas lagi maksudnya. Kita tidak diberi tahu apa yang unik.
Kalimat kedua: 'Ibunya yang sudah lanjut menarik naluri seorang anak untuk kembali ke Indonesia.' Yang dimaksud dengan sudah 'lanjut' tentu 'lanjut usia'. Kalimat ini akan berhasil, apabila dibuat lebih sederhana.
Kalimat ketiga: 'Kebetulan setelah ditunggui setahun pada 1998 ibunya wafat.' Ini menggelikan. Kontras dengan kalimat sebelumnya. Ibunya wafat, eh, dikatakan 'kebetulan'.
Contoh lain pemakaian bahasa di media massa:
� Sebelum melakukan pemerkosaan, terlebih dahulu ia membius gadis itu. Sebaiknya: kata 'sebelum' dan 'terlebih dulu' artinya sama. Jadi, cukup kita tulis, 'Sebelum memerkosa, ia membius gadis itu.'
� Terdakwa membungkukan kepalanya.
Oi, kepala dibungkukkan? Padahal maksudnya, 'Terdakwa membungkukkan badan.'
� Dia sudah berulangkali berbuat onar di kampungnya.
Ini rancu. Sebaiknya: berulang-ulang atau berkali-kali.
� Dari seratus angket yang disebarkan, hanya tujuh puluh lima yang memberikan jawaban.
Siapa yang memberikan jawaban? Ya, angket, bukan? Padahal yang dimaksud hanya 75 responden.
� Mayat wanita yang cantik itu sebelumnya sering terlihat mondar-mandir di komplek perumahan....
Wiih, mayat, kok, mondar-mandir.
Masih banyak lagi kesalahan seperti itu. Itulah sebabnya para pakar merasa prihatin tetang pemakaian bahasa di media massa.[]
Yang lain mengatakan, 'Dibandingkan dengan dulu, sekarang sudah jauh lebih baik.'
Yang lainnya lagi,
'Amburadul.
'Memprihatinkan.'
'Tingkat memprihatinkannya sudah mencapai 1.000%.'
Yang mengatakan 'amburadul' itu Prof. Dr. Slamet Iman Santoso, guru besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. 'Setiap hari,' ujarnya, 'kita disuguhi pemakaian bahasa yang amburadul. Itu menunjukkan kesemerawutan otak penuturnya. (Media Indonesia, 17 April 1997).
Amburadul itu kacau-balau.
Yang menyatakan 'memprihatinkan' adalah Kepala Pusat Bahasa, Dendy Sugono. Ia mengemukakan hal itu dalam berbagai kesempatan. Salah satu contoh yang sering ia kemukakan ialah penggunaan bahasa 'gado-gado', yaitu pencampur-adukan bahasa Indonesia dengan bahasa asing, terutama Inggris. 'Ini menunjukkan tidak ada kepercayaan jati diri bangsa,' keluhnya.
Sastrawan Ajip Rosidi menilai keprihatinan tersebut telah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan. 'Sudah seribu persen,' ucapnya. Hal ini terlihat jelas pada pemakaian bahasa di media massa, baik cetak maupun elektronik, katanya pada seminar bahasa yang diselenggarakan oleh Akademi Jakarta 26 November 2005. Namun, dia masih optimistis karena, '... tingkat kesadaran teman-teman wartawan media cetak cukup tinggi.'
Bertolak dari keprihatinan tersebut kini pemerintah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Bahasa. Direncanakan RUU tersebut dapat disahkan pada tahun 2007.
Satu Bahasa, tetapi Beragam-ragam
Bahasa di media massa selalu saja menjadi bahan pergunjingan orang. Lihat saja dalam buku 1001 Kesalahan Berbahasa yang disusun oleh Zaenal Arifin dan Farid Hadi. Sebagian besar contoh kesalahan tersebut diambil dari media massa. Demikian juga pada banyak buku lainnya.
Mengapa yang menjadi 'sasaran' kesalahan itu selalu bahasa media massa? Mungkin karena bahasa media massa itu terbuka. Setiap saat orang dapat membaca atau mendengarnya. Boleh jadi juga karena mereka menganggap bahwa bahasa jurnalistik merupakan cermin masyarakat kita berbahasa.
Anda mungkin menyela, 'Sebentar dulu! Dari tadi yang disebut-sebut itu bahasa media massa atau bahasa jurnalistik. Apa itu bahasa jurnalistik? Bahasa jurnalistik itu tidak ada. Bahasa di koran, majalah, televisi, radio, dll. tidak ada yang spesifik. Semuanya sama dengan bahasa di buku, pidato, atau lainnya. Lagi pula, bukankah bahasa Indonesia itu satu?'
Baiklah. Pendapat Anda itu benar. Akan tetapi, apakah benar-benar begitu? Mari kita ingat-ingat kejadian tadi pagi. Menjelang sarapan Anda membaca koran. Sambil menghirup kopi, Anda menyeruput pula beberapa berita. Apa yang kita baca itu langsung dapat dimengerti, tanpa harus berpikir berat. Mengapa? Ini karena berita tersebut ditulis dengan bahasa jurnalistik. Coba, apa jadinya bila koran menggunakan bahasa resmi, seperti bahasa pidato pertanggungjawaban presiden atau bahasa perundang-undangan.
Bahasa perundang-undangan itu, misalnya, begini: Jika suatu tindak pidana mengenai narkotika dilakukan oleh atas nama suatu badan hukum, suatu perseroan, suatu perserikatan orang yang lainnya atau suatu yayasan maka tuntutan pidana dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib yang dijatuhkan, baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu maupun terhadap mereka yang memberi perintah melakukan tindak pidana narkotika itu atau yang bertindak sebagai pemimpin atau penanggung jawab dalam perbuatan atau kelalaian itu, ataupun terhadap kedua-duanya.
Pasal 49 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika
Koran tadi pagi tentu tidak seperti itu bahasanya. Harian Kompas, Jakarta, pernah menyajikan berita dengan bahasa seperti ini:
London: Dua murid pembolos mengaku sangat menyesal telah mengakibatkan ibunya harus masuk penjara. 'Saya ditelepon saudara perempuan saya yang mengatakan bahwa ibu dipenjara karena kami tidak sekolah dan saya langsung menangis,' kata Emma kepada radio BBC, Senin. 'Saya merasa itu kesalahan saya karena saya sering membolos,' lanjut pelajar berusia 15 tahun itu.
Berdasarkan hukum baru di Inggris, orang tua yang tidak bisa menangani anak sehingga anak membolos, diancam hukuman penjara.
Patricia Amos, ibu dari dua siswa pembolos, Emma dan Jackie (13), adalah orang tua pertama yang menerima hukuman itu. Wanita tersebut semula dihukum 60 hari, tetapi pengadilan banding kemudian mengurangi hukumannya menjadi 28 hari.
Kedua anak Amos menyatakan bahwa hukuman terhadap ibunya benar-benar membuatnya kapok, sehingga keduanya berjanji untuk kembali ke sekolah.
Hukum baru tersebut dimaksudkan untuk menekan angka kenakalan remaja di Inggris. Perdana Menteri Inggris percaya ada korelasi antara kenakalan remaja dengan angka bolos sekolah yang mencapai 50.000 murid tiap hari.
Alasan membolos macam-macam. Emma, misalnya, mengatakan, 'Saya mulai membolos sejak nenek meninggal. Ini merupakan peristiwa sangat menyedihkan bagi kami.'
Emma kemudian membolos seminggu. Ketika masuk sekolah, katanya, dia diolok-olok. Sejak itu ia sering membolos.
Nyata benar bedanya kedua bahasa itu, bukan?
Contoh lain: ketika tadi Anda sarapan tiba-tiba datang seorang anak kecil. Sebut saja anak tetangga itu Cecep. Anda mungkin mengatakan begini kepadanya, 'Eh, Cecep! Udah makan, Cep? Makan, yu, dengan tante! Pake telor. Mau?'
Jika yang bertamu itu bapaknya, tentu lain pula cara Anda menawarinya makan. Bahasa untuk tamu yang teman akrab berbeda pula dengan bahasa untuk tamu yang baru dikenal, atau tamu orang gedean, yang lebih tua, dan seterusnya. Dengan ramah Anda akan mengatakan, 'Silakan, lo, Pak! Tapi lauknya hanya telur.' Dan, Anda tidak mungkin mengatakan kepada mertua begini, 'Makan, yu, dengan tante! Pake telor. Mau?'
Kita juga membedakan antara bahasa lisan dan bahasa tulisan. Bahasa tulisan pun bisa dibedakan lagi menjadi bahasa baku dan nonbaku, formal dan nonformal. Jadi, bahasa itu tidak satu. Selalu ada variasinya.
Apakah bahasa jurnalistik termasuk dalam bahasa baku, bahasa formal, atau apa? Untuk menjawab hal itu kita harus melihat bahasa dari segi penuturnya. Dalam hal ini bahasa dapat kita bedakan menjadi: (1) dialek, (2) sosiolek, dan (3) laras.
Dialek adalah ucapan-ucapan khas suatu daerah. Perhatikan bagaimana tiap suku atau daerah di negeri kita berbahasa Indonesia. Bahasa mereka berlain-lainan, entah karena perbendaharaan kata atau entah karena lagu bahasanya. Dialek Ambon, Batak, Sunda, Jawa, Bali, dll. berbeda satu dan lainnya. Berbagai daerah mempunyai istilah-istilah khas setempat. Pada dialek Jakarta, misalnya, ada kata-kata dong, deh, doang, beneran, ngedumel, banyak bacot. Dialek di daerah lain, lain lagi.
Sosiolek atau sosiolinguistik adalah bahasa yang digunakan di lingkungan sosial tertentu. Dengarlah obrolan di antara remaja, antarsesama tukang becak, nelayan, lingkungan kaum intelek, dan lain-lain. Bahasa mereka berbeda antara satu dan lainnya karena kedudukan sosial dan tingkat pendidikan masing-masing yang berlainan.
Para remaja mempunyai ragam bahasa tersendiri. Mereka lazim menggunakan istilah 'gue' dan 'elu'. Bukan untuk merendahkan, melainkan suatu cermin keakraban. Tidak dianggap santun, malah menggelikan, bila ada di antara mereka yang bertanya kepada temannya, 'Duhai, hendak ke manakah Anda gerangan sepagi ini?'
Istilah-istilah khas mereka, di antaranya: nyokap, bokap, kece, tajir, cembokur. Mereka menggunakan singkatan 'PD' untuk percaya diri, 'pdkt.' untuk pendekatan, ABG untuk anak baru gede. Dari waktu ke waktu mereka juga mempunyai pemeo, seperti, 'So what gitu, lo?', 'Kesian, deh, lu!' Sebelum itu ada celotehan, 'Enggaklah yauw.'
Laras atau register atau kalangan adalah bahasa di kalangan profesi. Misalnya, bahasa hukum, politik, ekonomi, militer, dan pers. Masing-masing mempunyai cara dan ciri tersendiri berbahasa karena yang dituju, tujuan, dan medianya berbeda-beda.
Bahasa hukum, umpamanya, dibuat untuk mengatur sesuatu. Tujuan utamanya menegakkan keadilan dan kebenaran. Dalam contoh tadi, demi keadilan, maka disebutkanlah secara rinci badan hukum, perserikatan orang, perseroan, dan yayasan. Itulah sebabnya dalam bahasa hukum acapkali kalimatnya panjang-panjang (dalam satu kalimat saja pada contoh tersebut terdapat 73 kata). Misal lain, di bidang hukum ada istilah tersangka, tertuduh, terdakwa, tergugat, penggugat, terhukum, dan terpidana. Semua itu dibedakan karena status masing-masing pesakitan berlainan.
Di bidang militer cirinya lain lagi. Militer itu harus tegas, lugas, disiplin, dan berahasia. Hal itu berpengaruh pada bahasanya, di antaranya di kemiliteran banyak kita jumpai singkatan dan akronim. Misalnya, TNI, ABRI, GPK (gerakan pengacau keamanan), secaba (sekolah calon bintara), danramil (komandan rayon militer), kopatdara (komando pasukan tempur udara), parako (para komando), ranpur (kendaraan tempur).
Di bidang ekonomi ada istilah khusus, seperti saham terizin (authorized shares), pasar marak (boom market), arus kas (cash flow), polis bencana (catastrophe policy), pialang tandingan (contra broker), anjak piutang (factoring cost), pencagaran atau pelindungan nilai (hedging), sewa guna usaha (leasing), pemasaran (marketing).
Bahasa Jurnalistik
Persoalannya sekarang, apakah media massa mempunyai bahasa tersendiri?
Bahasa jurnalistik (bahasa pers atau bahasa koran atau bahasa media massa) hanyalah salah satu variasi bahasa. Variasi itu suatu perubahan keadaan yang tidak mengubah sifat aslinya. Ikan mas koki, misalnya, memiliki banyak variasi. Warnanya bermacam-macam. Bentuknya berlain-lainan. Ada yang pipih, ramping, yang gembrot, yang siripnya panjang berumbai-umbai, yang berjambul, dan yang matanya gede melotot. Berbeda-beda, tetapi tetap ikan mas jua. Meski dibudidayakan telah ratusan tahun, tidak ada ikan mas yang menyeleweng menjadi lele, gurame, atau hiu.
Variasi bahasa pun seperti itu. Bahasa jurnalistik, seperti halnya ikan mas koki, adalah salah satu variasi bahasa yang tetap berinduk pada bahasa Indonesia. Tetap terikat pada sifat, adat, dan kaidah bahasa baku, baik tata bahasanya, istilah, maupun ejaan bahasa Indonesia.
Setidaknya ada tiga hal yang membuat bahasa pers membentuk variasi tersendiri, yaitu karena (1) fungsi media massa, (2) karakteristik cara kerja pers, dan (3) keadaan media.
1. Fungsi media massa. Media massa diterbitkan dengan fungsi:
menyampaikan informasi,
membentuk opini publik,
agen perubahan,
menyebarkan pengetahuan,
menyalurkan aspirasi,
memberikan hiburan, dan
menjalankan kontrol sosial.
Informasi 'lazimnya' dibungkus dalam bentuk berita (news). Bahasanya lugas, ringkas, sederhana, mudah dicerna, kadang berderap-derap seperti irama lagu mars.
Pengetahuan, wawasan, atau penjelasan 'umumnya' dikemas dalam wadah feature. Bahasanya lebih luwes, imajinatif, menggugah perasaan layaknya orang mendongeng.
Aspirasi dan kontrol sosial 'biasanya' disalurkan lewat kolom atau opini. Bahasanya cenderung formal, namun tetap enak dibaca, tidak dingin dan kaku seperti batang pisang.
Saya menggunakan kata-kata 'lazimnya', 'umumnya', dan 'biasanya' karena perbedaan yang satu dengan yang lain tidak kontras hitam putih. Informasi, misalnya, tidak mutlak milik berita sebab bisa saja ada pada feature atau opini. Demikian juga penggunaan bahasanya. Bahasa berita - news feature - feature - opini sering serupa, hal itu bergantung pada materi yang disajikan, gaya penulis, dan corak medianya.
Contoh bahasa berita:
Sekolah Roboh
Masyarakat Berpartisipasi
Kebumen (Ayom)
Bupati Kebumen, Dra. Sri Rustriningsih, mencanangkan 'Gerakan Peduli Sekolah Dasar' kemarin. Gerakan tersebut untuk mendorong masyarakat berswadaya memperbaiki SD yang rusak. Pencanangan dilakukan di SDN Pesuningan, Kebumen. Belum lama ini SD tersebut roboh. Delapan murid luka tertimpa atap. Seorang di antaranya pingsan selama � bulan.
Contoh bahasa news feature:
Murid SD Pingsan 1/2 Bulan
Subur, murid SDN Pesuningan, Kebumen, pingsan selama 1/2 bulan tertimpa atap bangunan sekolah. Ia dirawat di rumah sakit Bethesda, Yogyakarta. Sampai kemarin dia masih pingsan. Kejadian ini mendorong Bupati Kebumen, Dra. Sri Rustriningsih, mencanangkan 'Gerakan Peduli Sekolah Dasar' untuk memacu masyarakat agar berswadaya memperbaiki SD yang rusak di lingkungannya.
Contoh bahasa feature:
Subur Tak Sempat Menjerit
Tiba-tiba terdengar bunyi 'krak' keras sekali. Semua murid menengadah. Anak-anak kelas IV SDN Pesuningan, Kebumen, itu bergegas mengemas buku mereka. Lalu, menghambur berlarian. Namun, Subur tersandung kaki meja. Ia jatuh tertelengkup. Sebuah balok menimpa kepalanya. Genting dan puing menghujaninya. Ia tak sempat menjerit. Anak 11 tahun itu pingsan selama � bulan. Tadi pagi ia siuman. Sewaktu ibunya menjenguk, ia menatapnya lama-lama dan bertanya, 'Ibu ini siapa?'
Contoh bahasa opini:
Apakah arti kemenangan? Setelah Kurawa dikalahkan, medan perang Kuru tinggal lapangan penuh bangkai. Bau busuk terbentang. Rasa cemar terapung ke kaki langit. Ribuan anjing ajak melolong, mengaum, mengais. Selebihnya cuma erang sekarat para prajurit, di antara sisa kereta dan senjata yang patah.
Warna di sana hanya darah. Anyir. Tak akan ada lagi perbuatan kepahlawanan.
Goenawan Mohamad
'Catatan Pinggir' majalah Tempo
Contoh lain bahasa opini:
Kearifan tua bilang, 'Bukan hidup buat makan, melainkan makan buat hidup.' Baiklah. Soalnya, makan apa? Buat orang Tionghoa gampang saja. Perutnya pragmatik. Simaklah pepatahnya, 'Segala rupa yang berkaki bisa digoreng, kecuali kursi. Segala rupa yang terbang di langit bisa dipanggang, kecuali layangan.' Mahatma Gandhi lain. Dilarangnya makan buah-buahan, apabila mau betul-betul amalkan 'karma yogi', supaya peroleh jiwa sempurna, bebas nafsu, desirelessness. Ini belum seberapa. Burton di dalam Anatomy of Melancholy lebih gawat dari itu. Di samping buah-buahan, jangan pula jamah sayur-mayur, khusus kol, karena �bikin mimpi buruk dan otak dungu.�
H. Mahbub Djunaidi
Majalah Tempo, 18 Agustus 1973
2. Karakteristik cara kerja pers. Berikut adalah ciri-ciri pekerjaan jurnalis yang berpengaruh pada bahasanya:
Pekerjaan wartawan dan redaksi media massa selalu berpacu dengan waktu. Batas waktu (dead-line atau tenggat) merupakan hal yang mutlak harus dipatuhi. Sastrawan boleh santai bekerja, sedangkan wartawan tak dapat berlama-lama karena harus selesai menulis tepat pada waktunya. Oleh karena itu, keduanya beda berbahasa.
Panjang tulisan dibatasi karena keterbatasan halaman yang tersedia. Informasi yang sebanyak-banyaknya ditulis seringkas-ringkasnya. Dengan demikian, bahasanya pun harus ekonomis;
Jumlah media massa di Indonesia dewasa ini berbilang ribuan. Oleh karena itu, persaingan di antara media massa semakin meruncing, sehingga bahasa yang digunakan, tulisan yang disajikan, dan tata muka media harus lebih menarik ketimbang saingannya;
Tulisan pada media massa sebagian besar berbentuk berita dan feature. Bahan bakunya fakta, sehingga jurnalis tidak dapat membuat tulisan dengan bahasa yang muluk-muluk seperti pada cerita rekaan yang berbentuk penulisan fiksi (cerpen, novel, puisi) yang kadang susah dimamah.
Bahasa yang Dianjurkan
Mengingat fungsi media dan karakteristik kerja tersebut, maka pemakaian bahasa di media massa dianjurkan agar:
jelas
lugas
logis
menarik
baik
benar
singkat padat
sederhana
Jelas, lugas, logis, singkat padat, sederhana. Suatu penelitian menyebutkan bahwa seseorang membaca surat kabar tidak pernah sampai lebih dari 30 menit. Tidak lama. Dalam waktu sesingkat itu pembaca harus dapat menangkap maksud yang ditulis di koran dan media massa lainnya. Media cetak halamannya terbatas dan media elektronik waktunya sempit. Oleh karena itu, penulisan di media massa harus jelas, lugas, logis, singkat padat, sederhana atau komunikatif, efektif, efisien. Untuk itu kita dianjurkan menggunakan kalimat yang mudah ditangkap:
Kalimat tidak berkepanjangan. Pembaca akan susah menangkap maksud kita bila kita menggunakan kalimat yang panjang. Sebaiknya memakai kalimat tunggal atau kalimat majemuk dengan satu anak kalimat.
Pilihlah kata yang tepat. Misalnya, kata 'sekitar' hanya digunakan untuk menunjukkan tempat dan waktu (sekitar pukul 10, sekitar Jakarta. Bukan sekitar 100 orang, melainkan sekira atau kurang lebih 100 orang). 'Senilai' digunakan untuk kata bantu bilangan uang. Umpamanya, senilai Rp40 miliar, bukan sebesar Rp40 miliar.
Hindarkan penulisan angka Romawi yang sulit dibaca.
Tulis kepanjangan akronim dan singkatan, terutama yang belum populer. Misalnya, Panglima Komando Pelaksana Operasi (Pangko-laops), gurdacil (guru di daerah terpencil).
Hindarkan pemakaian istilah yang belum populer, baik istilah Indonesia, asing, dan daerah. Misalnya, wigati, sangkil, mangkus, pindai.
Lihat makalah 'Menyunting Itu Membosankan, Tetapi Juga Menyenangkan' di halaman lain.
Baik dan benar. Tulisan yang baik adalah tulisan yang sesuai dengan jenis media dan segmen pembacanya. Tulisan yang benar adalah tulisan yang sesuai dengan kaidah bahasa (tata bahasa, istilah, dan ejaan baku).
Menarik. Tulisan yang menarik adalah tulisan yang bergaya dan berdaya getar. Ada banyak cara untuk membuat tulisan menjadi menarik, antara lain dengan menggayakan bahasa, misalnya:
Memilih kata yang lebih spesifik. Kata tertatih-tatih, terseok-seok, terhuyung-huyung, bergegas, terbirit-birit, dapat mengganti-kan kata berjalan yang lebih umum.
Perumpamaan. Perumpamaan �semudah membalik telapak tangan� sudah sering dipakai, sehingga membuatnya aus. Oleh karena itu, pergunakanlah perumpamaan yang lebih baru. Untuk menunjukkan kemudahan bisa kita ganti menjadi begini: semudah menghidupkan kompor gas, hanya dengan memutar tombol, klik, api pun menyala.
Perbandingan. Setiap hari Pemerintah Provinsi Jakarta mengangkut 50.000 ton sampah ke tempat pembuangan akhir. Saya berani bertaruh bahwa Anda tidak dapat membayangkan jumlah 50.000 ton itu. Jumlah tersebut dapat tergambar dalam pikiran pembaca, apabila kita perbandingkan. Umpamanya, dengan menyebutkan bahwa sampah tersebut harus diangkut dengan 10.000 truk.
Contoh lain: Agar pembaca dapat membayangkan betapa Kalimantan kaya akan pertambangan dapat kita katakan begini: Bentangkan peta Kalimantan. Beri tanda titik pada setiap daerah pertambangan. Lihat! Atlas Borneo kini penuh berbintik-bintik.
Bahasa yang Amburadul
Lewat pers kita mengenal anjuran untuk menggunakan bahasa yang baik dan benar, namun pers sendiri tidak memedulikan bahasa yang baik dan benar. Pers sering menyimpang dari kaidah bahasa yang sudah ditetapkan oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Simak saja penulisan istilah yang berlain-lainan antara satu media massa dan media massa lain: ada yang menulis asas - azas, milyar - miliar, Nopember - November, rapi - rapih, risi - risih, cinderamata - cenderamata, dan lain-lain. Yang dianggap baku oleh Pusat Bahasa adalah asas, miliar, November, rapi, risi, cenderamata.
Untuk mengetahui sesuatu kata atau istilah itu baku, kita dapat mencarinya pada Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Hal lain yang sudah dibakukan adalah tata bahasa (lihat buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia), ejaan (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan), dan pembentukan istilah (Pedoman Pembentukan Istilah).
Media massa juga sering mengekor memakai istilah yang salah kaprah. Misalnya, ia membunuh dengan semena-mena. Seharusnya: ia membunuh dengan tidak semena-mena. Arti semena-mena justru kebalikan dari sewenang-wenang. Mena berasal dari bahasa Sanskerta, manas, yang berarti sebab. Tidak semena-mena = tanpa sebab = sewenang-wenang.
Salah kaprah lainnya, di antaranya: bola bundar (seharusnya bola bulat), mengejar ketertinggalan (seharusnya mengatasi ketertinggalan), dll.
Baru-baru ini seorang wartawan mewawancarai pengusaha tambang batu bara di Kalimantan Timur. Pengusaha tersebut menceritakan bahwa ia pernah melanjutkan kuliah di Amerika Serikat. Akan tetapi, tidak selesai karena ia teringat terus pada ibunya yang sudah tua. Lalu, ia pulang ke Indonesia. Setahun kemudian ibunya meninggal dunia. 'Saya memang menyesal tidak tamat kuliah, tetapi akan lebih menyesal lagi bila tidak mendampingi ibu saat sakit dan wafat,' kata pengusaha tersebut.
Bagaimana sang wartawan menuliskan hasil wawancaranya? Ini cuplikannya:
Perjalanannya kembali ke tanah air juga cukup unik. Ibunya yang sudah lanjut menarik naluri seorang anak untuk kembali ke Indonesia. Kebetulan setelah ditunggui setahun pada 1998 ibunya wafat.
Mari kita simak kalimat pertama: 'Perjalanannya kembali ke tanah air juga cukup unik.' Kata 'perjalanannya kembali' terasa mengambang. Mengapa ia tidak menggunakan kata 'kepulangannya' yang lebih singkat dan jelas. Kata 'juga cukup unik' lebih tidak jelas lagi maksudnya. Kita tidak diberi tahu apa yang unik.
Kalimat kedua: 'Ibunya yang sudah lanjut menarik naluri seorang anak untuk kembali ke Indonesia.' Yang dimaksud dengan sudah 'lanjut' tentu 'lanjut usia'. Kalimat ini akan berhasil, apabila dibuat lebih sederhana.
Kalimat ketiga: 'Kebetulan setelah ditunggui setahun pada 1998 ibunya wafat.' Ini menggelikan. Kontras dengan kalimat sebelumnya. Ibunya wafat, eh, dikatakan 'kebetulan'.
Contoh lain pemakaian bahasa di media massa:
� Sebelum melakukan pemerkosaan, terlebih dahulu ia membius gadis itu. Sebaiknya: kata 'sebelum' dan 'terlebih dulu' artinya sama. Jadi, cukup kita tulis, 'Sebelum memerkosa, ia membius gadis itu.'
� Terdakwa membungkukan kepalanya.
Oi, kepala dibungkukkan? Padahal maksudnya, 'Terdakwa membungkukkan badan.'
� Dia sudah berulangkali berbuat onar di kampungnya.
Ini rancu. Sebaiknya: berulang-ulang atau berkali-kali.
� Dari seratus angket yang disebarkan, hanya tujuh puluh lima yang memberikan jawaban.
Siapa yang memberikan jawaban? Ya, angket, bukan? Padahal yang dimaksud hanya 75 responden.
� Mayat wanita yang cantik itu sebelumnya sering terlihat mondar-mandir di komplek perumahan....
Wiih, mayat, kok, mondar-mandir.
Masih banyak lagi kesalahan seperti itu. Itulah sebabnya para pakar merasa prihatin tetang pemakaian bahasa di media massa.[]